Suara tangisan itu menggema. Memenuhi langit-pangit masjid. Dari seorang balita di gendongan ayahnya. Meningkahi bacaan imam salat jumat di masjid Assalam Houston, Jumat lalu (19/10).
Hari itu, setidaknya ada dua laki-laki yang membawa serta anak balitanya saat menunaikan salat jumat. Sebelah kiri saya, lelaki kulit hitam dengan anaknya yang lucu bekulit senada dengan ayahnya. Saya selalu menoleh ketika ia bersuara girang. Senyum saya merekah, teringat anak lakiku di kampung yang juga berkulit gelap.
Ia duduk manja di pangkuan ayahnya. Senyum tak lekang sedetik pun dari bibirnya. Matanya menatap takzim gawai yang dipegang ayahnya. Kulirik sedikit. Oh, ia sedang menonton film kartun. Jika ada adegan lucu, ia tertawa.
Senyum dan tawa itu berakhir ketika azan berkumandang. Ayahnya menutup gawai. Fokus ke arah mimbar. Mendengar khutbah. Suara anak itu hilang. Sejurus kemudian saya menoleh lagi ke kiri. Ternyata anak itu sudah pulas, tertidur di ribaan ayahnya.
Sebelah kanan saya, juga lelaki berkulit hitam. Di pangkuannya adalah anak perempuan. Juga masih balita. Sekira dua tahun umurnya. Di mulutnya empeng tak lepas walau hanya sekejap. Berbeda dengan anak yang sebelah kiri, anak perempuan ini sedari tadi sudah tertidur. Mungkin sejak di mobil menuju masjid, ia sudah pulas.
Jangan pernah bertanya bagaimana ayahnya bermudu sambil menggendong bayi. Itu mudah saja. Mengingat tempat wudu di masjid ini adalah wudu duduk: kerannya rendah dan dilengkapi tempat duduk permanen dari semen berlapis pualam. Anaknya yang tertidur bisa didudukkan di atas paha ayahnya.
Kedua lelaki itu masih lengket dengan anak mereka yang tertidur sampai salat jumat tiba. Mereka salat sambil menggendong anaknya. Situasi aman saja. Sampai tiba waktu sujud, anak yang perempuan menangis. Mungkin ia terjepit saat gerakan sujud ayahnya.
Saya bisa mendengar suara desisan keluar dari mulut ayahnya dengan ritme naik turun. Ia sedang meninabobokan anaknya. Secara fikih yang saya pahami, ini tentu bermasalah. Tapi jika kita keluar, akan sering kita jumpai hal-hal sebagai ini.
Anak itu perlahan diam saat posisi salat berdiri lagi. Tapi masih tertengar suara sesunggukan. Di rakaat kedua, imam membaca ayat cukup pendek. Saya menduga itu adalah tanggapannya setelah mendengar tangisan anak kecil.
Saya pernah mendengar, bahwa dulu Rasulullah saw. pernah mempercepat salat yang diimaminya karena ada anak kecil menangis di belakang. Tapi saya belum pernah melihat redaksi hadis itu.
Pada saat sujud anak itu menangis lagi. Agak lebih keras. Ia diam setelah salam dan mendengar ayahnya bersuara lagi. Anak laki yang sebelah kiri saya tadi, ia pulas di gendongan ayahnya sampai salat berakhir.
Setelah salat, jamaah di sekitar ayah yang anaknya menangis tadi, tersenyum girang melihat ke arah anak perempuan itu. Malah ada beberapa yang menyentuh pipinya. Menggodanya. Tidak ada jamaah yang terlihat kesal, jengkel, apalagi marah karena terganggu salatnya.
Semuanya biasa-biasa saja. Orang di sini tidak merasa terganggu sama sekali dengan riuhnya anak kecil di masjid. Atau malah justru senang jika ada anak-anak di masjid. Ini terbukti dari adanya tempat bermain untuk anak-anak di depan masjid ini.
Di masjid Istiqlal, masjid orang Indonesia di Houston, malah ada mainan robot-robotan di lemari masjid. Jika sedang sepi, tak ada salat dan pengajian, anak-anak riuh sibuk bermain dengan mainannya itu. Masjid menjadi menarik bagi mereka anak kecil. Bukan hanya bagi orang tua.
No comments:
Post a Comment