Padahal apa salahnya untuk disediakan. Mendirikan hotel sampai milyaran rupiah, sekali jatah pengadaan guling mereka pura-pura tidak tahu, bahwa itu adalah kebutuhan bagi sebagian orang untuk bisa tertidur lelap.
Di Amerika, dalam hal guling, ternyata lebih mending. Ada gulingnya. Tapi sayang, keras. Memeluknya serasa mendekap pohon kelapa. Tidak nyaman sama sekali. Akhirnya guling itu memang tidak saya pakai. Begitu juga teman sekamar saya. Hanya disandarkan saja di pojok tempat tidur.
Pernah saya paksa pakai semalam, ternyata ketika saya terlelap tidur, begitu terjaga guling bertuah itu sudah kabur loncat ke bawah dipan. Karena keras dan bulat, guling itu menjadi liar dan gampang terguling, menggelinding ke bawah. Jatuh. Gagal. Akhirnya ia benar-benar saya tinggalkan.
Sebagai penggantinya, saya harus bersyukur, hotel ini menyediakan empat bantal kepala yang lunak dan lembut-lembut. Entah apa maksudnya mereka menyediakan bantal sebanyak itu. Ini, tidak termasuk dua bantal cadangan yang juga tersedia di lemari.
Jadi, selama di sini, bantal itulah yang saya peluk. Satu saya bekap di antara dua kaki, satu lagi saya dekap di dada. Sempurna. Tiga bantal terpakai. Satu lagi, sisanya, saya taruh dekat kaki untuk penghalang angin AC agar tidak langsung mengenai kaki saya. Mengingat AC di sini ditaruh di bagian bawah dinding. Dan itu dekat dengan kaki saya.
Cuma, kemarin (28/10,) tiba-tiba saya meraih guling yang hampir satu bulan saya sandarkan saja di pojok dipan itu. Saya memeluknya. Enak juga ternyata. Jelas, karena merasa ada yang beda, saya berujar kepada teman sekamar saya, "Pak, kok, ternyata, sekarang terasa enak juga memeluk guling ini, ya?"
"Ya, wajarlah, Pak. Kan, sudah satu bulan nggak pernah meluk apa-apa di sini, " jawabnya santai tanpa dosa. Tawa kami pun pecah. Menggetarkan langit-langit kamar hotel. Yakin, juga tembus ke kamar sebelah, di mana penghuninya juga bernasip sama.
![]() |
Dipan dengan empat bantal dan guling tak terpakai di pojok kanan. |
No comments:
Post a Comment