Friday, November 9, 2018

Antara tertidur dan terjaga

Saya menatap lekat-lekat salah satu foto anak perempuan saya. Yang dikirim baru-baru ini. Oleh ibunya. Ia anak sulung saya. Sekalipun ia perempuan, tapi lasaknya minta ampun. Mengalahi adiknya. Sekalipun laki-laki.

Apa yang dimintainya harus ada. Jangankan saya mau bilang "tidak mau beli", bilang "sebentar lagi" saja itu sudah lebih dari cukup alasan baginya untuk menangis sekeras-kerasnya.

Suaranya melengking berbilang oktaf jika sedang menangis. Di kala bicara berubah menjadi serak-serak basah. Suara tangisnya lebih sering kudengar tinimbang bicaranya. Ia jago dalam hal ini.

Tapi, dengar-dengar, dari ibu, ibu mertua saya, ternyata ibunya dulu di kala masih kecil lebih lihai lagi dalam hal menangis. Anak kami itu masih kalah jauh. Dibandingkan dengan ibunya.

Makanya, ketika ia menangis, saya sering bukannya marah, tapi malah ketawa. Ingat cerita bahwa istriku dulu adalah si Jago Nangis.

Aku suka menatap lama anak perempuan saya itu di saat ia sedang tertidur pulas. Kemudian menciumnya. Ada aura lain terpancar di balik pejaman matanya itu.

Namun, dalam beberapa hari ini, saya baru tahu, ternyata ada masa lain di mana aura itu memancar lebih kuat lagi. Yaitu sesaat sebelum matanya terpejam sempurna.

No comments:

Post a Comment