Sunday, November 11, 2018

Pertolongan Gudeg di Negeri Koboi

Saya beli gudeg. Makanan khas Jogja yang rasanya membikin lupa mertua itu. Di Istiqlal Fair. Sebuah pekan yang diadakan oleh Indonesian American Muslim Community (IAMC). Sebuah komunitas Muslim di Amerika. Acaranya diadakan di masjid Istiqlal Houston. Mesjidnya muslim Indonesia di Texas.

Awalnya saya mau beli nasi Padang. Tapi stan yang menyediakan itu sampai pukul 11.30 siang belum juga nampak gelagat aktifitasnya. Mejanya masih sepi. Sementara stan lain sudah diramaikan baik oleh kegiatan persediaannya maupun pelayanan pembelinya. Sudah pada aktif semenjak pukul 9.30 pagi di saat aku sampai di sana.

Saya mencoba menunggu. Di dalam masjid. Di luar saya tak kuat. Cuaca di Houston dalam dua hari ini sama sekali bukan sahabat saya. Dingin. Membuat ujung-ujung jemariku ngilu. Saya harus masuk ke masjid itu, yang hangat karena dilengkapi pemanas.

Sebelumnya, saya mencoba bertahan di luar. Ada tungku milik stan "barbecue" di belakang tenda. Saya sempat menghangatkan badan di tungku besi yang panas itu.

Tak lama, aku mencoba keliling lagi. Melihat isi stan satu per satu. Ada angkringan, tapi isinya sate. Sate Madura. Dari daging kambing. Aku tak suka. Saya menoleh lagi ke stan nasi Padang. Belum juga buka. Perjalanan saya teruskan.

Untuk di Amerika yang jauhnya 24 jam tempuhan pesawat terbang ini, ramai dan banyaknya stan dengan beraneka ragam masakan Nusantara, membuat aku terpesona. Ada empek-empek. Yang khas dari Palembang itu. Mi ayam, nasi ayam, nasi kapau, gado-gado, ikan sambal balado, bakso, dan masih banyak lagi lainnya, yang kalau saya ketik semua, kasian jempol saya. Itu belum lagi adanya pakaian dan aneka permainan anak-anak.

Saya menoleh lagi. Ke stan nasi Padang. Belum juga buka. Saya melanjutkan perjalanan. Sampai di depan stan yang menyediakan ikan tongkol sambal. Aku tertarik. Kata penjualnya, nggak pedas. Cocok. Isinya ada lima potong. Harganya 8 dolar. Kalikan saja dengan 15 ribu. 120 ribu rupiah.

Jangan pernah bilang ini mahal. Mendapatkan ikan sambal di Texas ini, bagi saya rasanya bak musafir di gurun panas Sahara yang tiba-tiba menemukan oasis. Yang penuh air dan tetumbuhan hijau. Mahal sekejap menjadi bukan masalah lagi bagi saya.

Sudah hampir dua bulan saya di Texas ini. Oleh penyelenggara pelatihan, kami hanya disuguhkan daging ayam. Setiap hari. Pulang-pulang manggil anakku, keluar suaranya bisa-bisa kukuruyuk. Atau bisa-bisa, ayam-ayam di rumah bisa kabur minggat ketakutan. Monster pemakan ayam pulang. Dari Texas.

Saya membelinya. Ikan tongkol sambal itu. Beberapa teman saya jadi ikutan. Membeli ikan sambal itu juga. Sampai tandas. Gegara saya. Di sana, stan nasi Padang masih sepi.

Saya masuk ke masjid. Di luar dingin semakin menggila. Hidungku sudah mulai perih. Asap uap dingin lamat-lamat terlihat keluar dari mulut-mulut kami saat berbicara.

Dari dalam masjid, yang hangat itu, saya mengintip keluar dari jendela kaca. Beberapa teman yang tadinya belum sampai, sekarang sudah tiba. Sudah lengkap semua. Karena kami dijemput panitia dengan beberapa mobil. Mobil yang saya naiki yang paling duluan sampai. Saya melirik ke nasi Padang. Masih sepi.

Gelagat di luar membuat aku pengin ke sana lagi. Perut sudah mulai memiuh. Lapar. Saya belum makan sedari pagi. Sengaja saya mengosongkan perut. Biar bisa kuisi sebanyak-banyaknya di sini.

Aku keluar lagi. Badanku lumayan sudah hangat. Ada Jumanda di situ. Salah satu teman saya. Ia sedang di sebuah stan masakan Jawa. Ia mau membeli gudeg. Aku melirik ke stan nasi Padang. Masih sepi juga.

Pikiranku sekarang berubah. Sebab aku juga suka gudeg. Lupakan nasi Padang yang tak kuketahui rimbanya itu. Saya akhirnya membeli makanan khas Jogja itu. Makanan dari kota yang paling sulit kulupakan.

Gudeg ini langsung saya makan. Di meja yang sudah disediakan khusus untuk acara makan-makan. Di luar tenda sana, sedang berlangsung acara pembukaan. Dipimpin oleh Pak Zulfan Harahap. Sebagai MC.

Aku terus makan. Melahap satu demi satu potongan sayur nangka muda yang manis dan coklat itu, rasa dan rupa khas gudeg. Di ujung mikrofon sana, Pak Eka, sebagai presiden IAMC sekarang sedang memberi kata sambutan. Aku terus mendengar sembari terus mengunyah. Fokus ke dua arah.

Telur rebus cokelat sebagai lauk gudeg itu benar-benar membuatku seolah melayang ke Jogja. Ke depan masjid As Shobar Soropadan. Di jalan Affandi itu. Ke atas trotoar depan masjid di mana aku selalu menyantap gudegnya yang sedap itu.

Mikrofon sekarang diserahkan ke Ibu Nana Yuliana, ketua Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Houston. Ia didapuk untuk memberi kata sambutan sekaligus membuka Istiqlal Fair ini.

Pekik takbir menggema menggetarkan awang-awang Houston yang dingin setelah Ibu Konjen membuka acara itu. Bersama itu pula gudeg tandas kusantap. Acaraku selesai, justru ketika Istiqlal Fair ini baru dibuka.
Angkringan sate Madura, salah satu stan di Istiqlal Fair

No comments:

Post a Comment