Monday, November 12, 2018

Cara Menikmati Hidup

Hidup itu harus dinikmati. Pernyataan semacam ini saya rasa mulai dari Cek Ma'ali yang tidak pernah sekolah sampai Bang Basyah yang kuliah setinggi pucuk nyiur pun, setuju. Tak ada rencana bantah.

Namun sayangnya, bagaimana cara menikmati hidup, ternyata untuk hal ini Cek Ma'ali sampai Bang Basyah, langsung pecah kongsi. Semua berbeda pendapat. Ambil jalan sendiri-sendiri.

Saya terus terang cukup memahami dan menghargai bahwa sebagian besar rekan-rekan saya di Aceh menikmati hidupnya dengan mengobrol di warung kopi. Berjam-jam.

Tak peduli, baik amtenar, petani, maupun pedagang, warung kopi adalah tempat mereka melepaskan penat atau meregangkan otot setelah seharian tegang bekerja. Pengangguran, warung kopi menjadi pos, siapa tahu ada yang menawarkan kerja.

Sementara saya, pulang kerja, di rumah bercengkerama bersama anak-anak dan istri adalah cara menikmati hidup, setelah seharian bekerja. Bahkan ketika lagi marah-marahan atau diam-diaman sama istri pun, saya tetap di rumah.

Padahal jenis tontonan saya dengan istri praktis berbeda. Istri saya suka acara realiti show dan acara "dangdutan yang banyak lawakan tinimbang nyanyinya" itu. Sementara saya suka nonton wawancara.

Sekali-sekali kadang saya ikut nonton film yang sedang ditonton istri, yang kebetulan saya juga suka. Tapi yang jelas, saya mengalah dalam hal pemilihan saluran televisi. Apalagi saluran yang disukai anak kami, dua-dua kami mengalah.

Dengan kondisi semacam ini, mungkin bagi beberapa orang, hidupnya menjadi sumpek di rumah. Lebih enak keluar saja. Mengobrol di warung kopi. Namun saya tidak. Jika istri saya sedang asyik masyuk dengan tontonannya, saya tetap di sampingnya.

Terus saya ngapain? Baca buku. Saya selalu punya buku ringan untuk saya baca di saat santai. Buku banyak saya beli dalam bentuk digital, baik di Play Book maupun di Gramedia Digital. Saya membacanya di tablet atau hape.

Banyak buku saya tamatkan sambil menemani istri nonton. Dan kadang menulis pun banyak saya selesaikan di situ. Eh, tapi kalau ditoleh istri biasanya saya berhenti. Menoleh balik.

Soalnya sering dimarahi juga ketika dia melihat aku sibuk mengetik di hape. Kurang paham saya kenapa. Padahal ia adalah salah satu penikmat tulisan saya. Bahkan tulisan ini pun saya yakin ia ikut membacanya.

Sekalipun demikian, saya tetap bahagia untuk di rumah saja saat tidak bekerja. Menjadi lelaki rumahan di waktu malam dan kantoran di waktu siang. Siklus yang begitu sederhana dan membosankan bagi sebagian orang.

Gaya hidup saya sebagai itu ternyata bukan hanya berlaku di rumah saja. Saat saya kuliah doktor di Taiwan dulu, saya juga tidak ke mana-mana, hanya di lab saja. Kalau saya pinjam istilah salah satu teman saya, menjadi hantu di lab. Menjadi lelaki laboratorium, kalau istilah saya. Seperti itu terus dari awal kuliah, sampai saya lulus setelah empat tahun "ngehantu" di lab.

Nah, sekarang saya di Amerika. Sedang mengikuti pelatihan migas di Petroleum Extension (PETEX), sebuah lembaga pelatihan milik University of Texas at Austin (UT). Siang ikut pelatihan, malamnya atau hari libur, saya tinggal di hotel. Bertapa, tidak ke mana-mana. Menjadi lelaki hotelan.

Begitu itu ruginya memang besar juga, jadinya saya mengenal Texas ini tidak lebih dari lingkungan hotel dan PETEX saja. Iya, sekali-sekali kalau ada acara orang Indonesia mungkin saya ikut, untuk melepas kangen kampung halaman.

Tapi untungnya tak kalah besar juga. Uang beasiswa saya hampir semua tinggal! Hanya sedikit terpakai di perantauan. Semuanya saya bawa pulang ke kampung. Dan saya habiskan di sana. Bersama keluarga.

Mungkin ini yang membuat saya kelihatan over irit, hemat, pelit, menyia-nyiakan kesempatan mumpung di Texas, dan melanggar mati ajian "kapan lagi kalau bukan sekarang."

Tapi, bagi saya, itu semua hanya konsekuensi logis saja dari bagaimana saya menikmati hidup ini. Perkara gegara itu saya dicap over irit dan sebangsanya, itu juga konsekuensi, yang tentu, logis-logis saja.

No comments:

Post a Comment