Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di Mekah menjelang kedatangan Islam, yaitu lunturnya paganisme yang merupakan kepercayaan bangsa Arab kala itu. Kepercayaan yang dengannya mereka memuja para dewa dan berbagai berhala.
Kondisi ini diperjelas oleh munculnya tokoh-tokoh Arab, baik tua maupun muda, yang menentang penyembahan berhala. Mereka telah mulai mengidam-idamkan agar agama Ibrahim bisa ditegakkan kembali di tanah Arab.
Pernah sekali waktu, ketika masyarakat Quraisy sedang berkumpul dalam sebuah upacara besar tahunan untuk merayakan berhala Uzza di Nakhla, empat orang pemuda Quraish diam-diam keluar dari barisan jamaah itu.
Mereka tidak mau lagi mengagungkan berhala itu, yang menurut mereka tidak bisa memberi faedah maupun mudarat kepada siapapun. Ia tak lebih hanya sebongkah batu yang disembah karena kejahilan masyarakat kala itu.
Empat pemuda itu adalah Usman Bin Alhuwairith, Zaid Bin Amar, Ubaidullah Bin Jahsyin, dan Warakah Bin Naufal. Mereka ini adalah pemuda-pemuda yang dengan kejernihan akalnya menolak paganisme sekalipun saat itu Islam belum datang.
Mereka semua kemudian berpencar, berjalan sendiri-sendiri mencari agama mana yang bisa membawa mereka kepada agama Ibrahim. Saat itu, hanya ada dua agama ketuhanan. Kalau tidak agama Yahudi, maka Nasrani atau Kristen.
Warakah Bin Naufal memilih agama Nasrani sebagai kepercayaan barunya. Menurut sahib riwayat, dialah yang pertama kali menyalin kitab Injil ke dalam bahasa Arab.
Usman Bin Alhuwairith, pemuda ini masih kerabat Khadijah, pergi ke Romawi Timur (Bizantium). Di sana ia memeluk agama Nasrani dan memperoleh kedudukan besar dari Kaisar Romawi.
Sempat ia pulang ke Mekah tapi diusir karena berencana memasukkan kota suci itu ke dalam kekuasaan Bizantium, dengan ia sendiri menjadi Gubernurnya. Karenanya ia lari ke Syam dan meninggal di sana setelah diracun oleh orang Bani Ghassan yang berhasil disuap oleh orang-orang Quraisy.
Zaid Bin Amar, ia adalah kemenakan Umar Bin Khattab, pergi ke Syam dan Irak. Kemudian kembali lagi ke Mekah tanpa memeluk agama apapun. Dan juga tidak kembali menyembah berhala.
Ia menjadi orang yang cukup bimbang kala itu. Ia sempat meratap di sisi Kakbah menyesali diri karena tidak tahu bagaimana seharusnya menyembah Allah.
Ubaidullah Bin Jahsyin, sekalipun anti paganisme, tapi ia tidak pergi kemana-mana. Ia kemudian menjadi muslim ketika Islam datang. Dan karena tekanan kafir Quraisy di Mekah, ia ikut hijrah ke Habsyi (Etopia) bersama kaum muslimin lain.
Sesampai di sana ia bersalin akidah dengan menganut agama Kristen, sampai akhir hayatnya. Istrinya, Ummu Habibah Bin Abi Sufyan, tetap dalam Islam, yang kelak diperistrikan Nabi ketika sampai di Medinah.
Riwayat empat dari sekian banyak pemuda Quraisy ini membuka mata kita bahwa menjelang kedatangan Islam, paganisme Arab memang sudah mulai lemah. Masyarakat dalam hal kepercayaan menjadi pecah kepada beberapa golongan.
Di samping masih banyak kaum yang tetap menggenggam erat kepercayaan pagannya, ada juga yang sudah condong ke agama Yahudi dan Nasrani. Pun ada juga yang tidak condong ke salah satu dari tiga kepercayaan itu, tapi mereka ingin kembali ke ajaran Ibrahim as yang hanif. Karenanya, mereka ini disebut dengan "alhunafa."
Kaum Alhunafa ini tidak terlalu banyak, namun tidak bisa juga dianggap sedikit. Sekalipun demikian, mereka menjadi penggerak awal terhadap keruntuhan paganisme jahiliah sebelum Islam menjejakkan kaki di tanah Mekah.
Merekalah yang selalu mempropagandakan untuk kembali ke agama tauhid. Agama yang dulu ditanamkan Ibrahim as sebelum kemudian dirusak oleh Amru Bin Luhay Alkhuza'i ketika ia memegang tampuk pimpinan Mekah.
Menuju ke situ, tentu bukan perkara mudah. Paganisme yang sudah sangat mengakar di tanah Arab, cukup sulit untuk dihilangkan. Lebih-lebih lagi, secara politik mereka tidak berarti sama sekali di depan raksasa kaum pagan Arab.
Oleh karena itu, sudah menjadi kebiasaan kaum Alhunafa dalam menumpahkan keresahannya, mereka mengasingkan diri dari masyarakat yang telah tenggelam dalam kemusyrikan. Mereka bertahannuf, mendekatkan diri kepada Allah swt
Muhammad saw, seorang anak dan cucu dari seorang pembesar Mekah, termasuk salah satu pemuda angkatan terakhir dari kaum alhunafa ini. Sebelum akhirnya Islam datang.
Makin lama keresahan Muhammad saw makin meningkat melihat kaumnya yang begitu larut dalam kesesatan. Hal ini terbukti dari seringnya ia bertahannuf, mengasingkan diri dari dunia luar.
Dikisahkan, menjelang wahyu pertama turun, sebenarnya Muhammad saw telah merasa bahwa saat itu sudah cukup tepat untuk segera melakukan perubahan besar di Mekah, yaitu mengembalikan Kakbah sebagaimana dulu di masa Nabi Ibrahim as. Dan menggiring masyarakat Arab untuk meninggalkan paganisme sesat itu.
Pada masa-masa itulah beliau saw sering bertahannuf ke gua Hira. Malah pada bulan Ramadan beliau saw menghabiskan sebulan penuh di situ. Sampai akhirnya wahyu pertama turun dan beliau saw diangkat menjadi nabi dan rasul, pada umurnya yang ke 40.
Di tangannyalah estafet perjuangan kaum alhunafa terselesaikan. Tak begitu lama, setelah mengalami lika-liku yang begitu pahit dengan laku penuh kesabaran, dua puluh tahun setelah kenabiannya, Kakbah berhasil dibersihkan dari berhala-berhala itu.
__________
Ditulis di Texas USA, untuk mengobati rasa rindu perayaan Maulid yang mulai hari ini, Selasa 20 November 2018, sedang diperingati secara besar-besaran di Aceh.
No comments:
Post a Comment