Saturday, December 8, 2018

Lhokseumawe, Yang Entahlah

Tak banyak yang berubah. Kecuali Islamic Centernya yang megah itu. Yang teronggok hebat di tengah-tengah kota itu. Selebihnya boleh dikata masih sama saja. Sama seperti delapan belas tahun yang lalu. Ketika saya masih menjadi mahasiswa teknik mesin di Politeknik Negeri Lhokseumawe. Di tahun 1999 sampai 2002.

Lhokseumawe. Yang dulu sebagai ibukota kabupaten Aceh Utara. Sekarang berdiri sendiri. Sejak tahun 2001. Menjadi kota sendiri dengan walikotanya. Dulu, di saat saya masih kecil. Sampai tahun 1998. Kota ini merupakan kota terkaya di seluruh Aceh. Kecuali kantor gubernur dan Kompleks Darussalam dengan Unsyiah dan IAIN Arraniry-nya, kota Banda Aceh kalah canggih tinimbang Lhokseumawe.

Lhokseumawe dulu punya plaza besar yang tak tertandingi kemegahannya di seluruh Aceh. Cunda Plaza namanya. Malah, dalam hal hiburan malam, Lhokseumawe dulu punya diskotik di tepi pantai Ujong Blang. Hotel, hotel Lido Graha, juga merupakan hotel kelas satu yang mungkin juga paling megah di Aceh kala itu.

Pada kerusuhan tahun 1998, diskotik yang dianggap sebagai tempat maksiat itu dibakar massa. Cunda Plaza, yang entah mengapa, juga kecipratan kemarahan massa, dijarah, dan kemudian dibakar. Hanya hotel Lido Graha yang dulu merupakan salah satu ikon kemegahan Lhokseumawe, yang masih tinggal dan aktif sampai sekarang.

Wajar bebangunan itu dulu ada di kota Lhokseumawe, karena kota ini dulu dilingkupi perusahaan-perusahaan besar berskala internasional. Mobil Oil Indonesia, yang menyedot gas di Aron, memunculkan empat perusahaan besar: PT. Arun, PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT. Asean Aceh Fertelizer (AAF), dan PT. Kertas Kraft Aceh (KKA).

Sesaat, perusahaan-perusahaan itu mengakibatkan Lhokseumawe kebanjiran orang kaya. Hal mana itu menyedot pembisnis-pembisnis untuk segera mendirikan apa saja yang dapat menguras habis uang dari saku mereka.

Sekarang, ketika Mobil Oil berhasil membilas habis gas dan kemudian angkat kaki dari tanah Keureutoe, tiga dari lima perusahaan itu ikut mengangkat sauhnya dari Lhokseumawe, meninggalkan PT Arun. Dan PT. PIM, yang berjalan terseok-seok karena permasalahan pasokan bahan baku.

Karenanya, sekarang saya tak begitu heran jika geliat pasar di Lhokseumawe tidak akan berkembang lagi. Tidak akan menjadi seperti dulu lagi. Karena uang sudah terlalu sedikit beredar di kota ini, yang membuat pembisnis merasa sia-sia untuk mendirikan usahanya.

Hal ini karena terlalu sedikit uang yang bisa ditarik. Karena sebagian besar hanya saku-saku amtenar seperti saya ini yang berseliweran di seantero kota. Yang isinya tidak akan lebih dari lima juta rupiah perbulan. Sebingga ogah-ogahan kalau diajak berbelanja.

Tadi pagi (8/12/2018), karena malamnya saya tidur di kota Lhokseumawe untuk menjaga ibu di rumah sakit Melati, saya keliling kota ini. Yang masih sepi. Sambil merenungi jejak langkah saya dulu. Di waktu kecil dulu. Tak begitu sulit mengingat-ngingat masa lalu saya di kota ini, karena ia tak banyak berubah.

Saya sempat tersenyum sendiri ketika sampai di depan salah satu gedung. Bekas bioskop Puspa Theater. Bioskop ini saat masih kecil dulu, pernah sekali saya kunjungi. Di waktu lebaran. Untuk nonton film komedi Warkop. Yang dulu dengan singkat kami sebut saja dengan film "Si Dono".

*

Lhokseumawe. Saya melihat. Secara ekonomi. Hampir sama halnya seperti anak orang kaya raya yang manja. Yang tiba-tiba orang tuanya bangkrut dan mati karena serangan jantung. Meninggalkan anak manjanya itu yang tidak tahu sama sekali bagaimana hidup tanpa uluran tangan ayahnya.

Sekarang perusahaan-perusahan itu telah pergi. Yang tinggal pun sudah hampir tak berdaya. Berapa tahun lagi kota ini bisa berjaya lagi? Bisa menarik uang luar agar mengalir ke atas punggungnya lagi? Menumbuhkan ekonominya lagi? Entahlah...

Bekas bangunan Puspa Theater di salah satu sudut kota Lhokseumawe.

No comments:

Post a Comment