Hari ini. Selasa. 25 Desember 2018. Liburan Natal. Saya menemani istri masak di rumah. Masak sambal terong. Kesukaan saya. Ada yang unik. Selama ini saya tidak tahu. Ternyata salah satu bumbu sambal itu adalah terasi. Kirain cuma cabai, tomat dan rempah-rempah lain alakadarnya saja.
Terasi. Saya tidak perlu membelinya. Cuma disuruh istri minta saja ke ibu. Ibu mertua saya. Yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari ruko semi permanen tempat kami tinggal. Sepertinya, terasi punya ibu saya itu dibeli kiloan. Bukan lempengan seperti layaknya yang biasa dijual di pasaran.
Saya minta terasi sama ibu. Dengan membawa-bawa nama istri saya. "Si Mainah minta terasi sedikit, Bu. Untuk bikin sambal katanya." Saya mintanya sambil membuka tudung saji. Ada kue bolu pisang di sana. Saya makan. Dan segelas air putih yang saya ambil sendiri di drum air plastik, saya minum.
Terasi itu diambilnya dan dipotong seukuran dua jari. Dikasihkan ke saya. Dan saya bawa pulang. Sesampai di rumah, saya tetap ke posisi awal, duduk di dapur menemani istri masak. Istri saya senang kalau saya temani masak di hari libur. Sekalipun saya tidak berbuat apa-apa. Nonton saja.
Saya melihat tingkah istri saya. Sebelum terasi itu ia giling, ia menyempatkan diri mencium terasi itu. Melihat laku istri saya, saya mendadak teringat pada sebuah cerita singkat di sebuah koran bekas yang saya baca waktu saya kecil dulu.
Sidang pembaca mungkin penasaran, gerangan apakah isi cerita itu? Apa hubungannya dengan istri saya yang mencium terasi tadi? Berikut ceritanya.
Suatu hari, seorang pasangan bapak-ibu kedatangan anak beserta cucunya dari Sumatra Utara. Lama tak pulang kampung ke Aceh. Anaknya itu pengin dimasakkan sambal terasi oleh ibunya. Keinginan anaknya itu dituruti. Sambal terasi dibuatkan.
Cuma, stok terasi lagi kosong di rumah. Harus beli di warung. Yang tak berapa jauh dari rumah. Ibu menyuruh cucunya yang belum akil balig itu untuk membelinya. Warung itu dijaga oleh seorang bapak yang sudah agak tua.
Anaknya itu entah tinggal di Sumatra Utara bagian mana. Tak jelas dalam cerita itu. Tapi, kata sahib riwayat, di tempat anaknya tinggal di Sumatra Utara itu, terasi disebut dengan belacan.
Maka, kata belacan itulah yang dipakai cucunya itu untuk mencari apa yang disebut neneknya sebagai terasi tadi.
Sampai di warung sebelah, ia bertanya kepada bapak tua penjaga warung, "Nek, ada belacan kah?"
"Wah, belacan tidak ada, Nak. Tak ada yang jual belacan di sini, " jawab bapak tua itu sambil juga melayani pelanggan lainnya.
"Loh, kata nenek di sini ada."
"Kalau belacan saya tak pernah jual, Nak. Mungkin kamu salah dengar, kali. Coba kamu ingat-ingat lagi. Mungkin bukan belacan."
Anak itu mulai berpikir. Menggunakan akalnya yang belum begitu sempurna. Akhirnya, lonceng di kepalanya berdenting. Ia mendapatkan solusinya. Yang menurut dia paling brilian.
Ia minta izin sama bapak tua penjaga warung, "Nek, sebentar ya. Saya ke belakang warung. Sebentar saja."
"Baik, " jawab bapak tua itu yang separuh konsentrasinya terbagi ke pelanggan lain.
Di belakang warung, setelah celingukan ke seluruh arah mata angin, setelah dirasa aman, ia memasukkan jari telunjuk ke duburnya. Kemudian jari itulah yang dibawanya ke depan. Terus diciumkan kepada bapak tua penjaga warung, sambil ia berujar, "Nek, belacan itu, kira-kira bau kayak gini."
Bapak tua menciumnya. Hidungnya bergerak-gerak. Naik-turun. Kembang kempis. Tak berapa lama. Ia tersenyum. Pertanda sebuah kemenangan. Berujar, "Alah, hai, anak kecil. Ini terasi! Bukan belacan. Ini! Tiga ribu rupiah satu!"
__________
Catatan:
*Panggilan Nek yang merupakan pemendekan dari kata nenek, di Aceh, dan mungkin juga di Sumatra Utara, sering dipakai untuk sapaan kakek maupun nenek.
*Plot cerita agak saya ubah dari aslinya agar lebih menarik
No comments:
Post a Comment