Wednesday, January 2, 2019

Hadas dan Air Mustakmal

Mudah bilangnya, air mustakmal itu adalah air bekas pakai. Sesederhana itu artinya. Namun, di dalam hukum fikih, ada tambahan lagi, adalah air bekas pakai “pada penyucian badan dari hadas.”

Hadas berbeda dengan najis. Najis begitu mudah dideteksi keberadaannya, karena ia berwujud dan kerap pula berbau. Semacam kotoran hewan maupun kotoran manusia.

Sementara hadas tidak berwujud. Sehingga ia tidak bisa disentuh, diraba, ataupun dicium. Tetapi dalam fikih, hadas itu dipersepsikan ada. Menjadi semacam benda abstrak. Ada, tetapi tidak bisa dirasa. Ada, tetapi tidak bisa diraba. Dan, ada, tetapi tidak bisa dicium. Itulah hadas.

Memang, agak susah mendefinisikan hadas. Mungkin, sama sulitnya seperti mendefinisikan entropi dalam ilmu Termodinamika. Dan, barangkali, hal inilah yang membuat para fukaha lebih suka langsung loncat ke pembahasan penyebab-penyebab datangnya hadas tinimbang mendefinisikannya.

Maksud dari penyebab datangnya hadas adalah, perbuatan atau kejadian yang jika berlaku pada tabuh seseorang, maka tubuhnya akan dihinggapi oleh hadas. Sedangkan apa itu hadas, tidak begitu perlu untuk diuraikan.

Hadas itu pun ada dua jenis: besar dan kecil. Tapi ada juga literatur yang menyatakan adanya hadas pertengahan, tapi tidak begitu popular. Besar-kecilnya hadas, dan pertengahannya, tergantung pada apa saja yang terjadi pada tubuh atau apa saja yang dilakukan oleh seseorang.

Hadas kecil, ia akan menghinggapi badan seseorang jika: ada sesuatu yang keluar baik dari dubur maupun kemaluannya, ia tertidur, hilang akalnya, ia menyentuh kemaluan dan kawasan dubur dengan telapak tangannya, dan ia menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram. Untuk menghilangkan hadas kecil ini, cukup dengan berwudu saja.

Sementara hadas besar, ia akan berada pada tubuh seseorang jika: bersanggama, keluar spermanya, mati, mengalami haid atau nifas (keluar darah setelah melahirkan), dan melahirkan (wiladah). Untuk menghilangkan hadas besar ini, seseorang harus mandi, yang dikerap disebut dengan mandi junub.

Nah, air yang telah digunakan untuk mengangkat kedua hadas itulah yang dikatakan dengan air mustakmal. Air mustakmal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci dari hadas besar maupun kecil. Kecuali air mustakmal itu dikumpulkan menjadi kira-kira 270 liter banyaknya, baru bisa digunakan lagi untuk bersuci.

Setelah tahu kaidah di atas, maka kita paham bahwa air basuhan anggota badan yang tidak diniatkan untuk mengangkat hadas bukanlah air mustakmal. Misalnya, air cucian tangan untuk makan adalah bukan air mustakmal. Sekalipun tangan sekalian dicelupkan ke dalam wadah air atau gayung, karena niatnya bukan untuk menghilangkan hadas.

Dalam fikih mazhab Syafii, niat begitu pentingnya sehingga ia bisa merubah hukum. Contoh, ketika berwudu, di saat kita ingin membasuh tangan, maka kita boleh mengambil air dari dalam gayung yang kecil dengan tangan asal saja tangan diniatkan sebagai ciduk. Maka, air di dalam wadah tersebut tidak akan menjadi mustakmal, karena tangan sekarang secara hukum bertindak sebagai ciduk disebabkan oleh niatnya.

Wallahuaklam bis shawab.

No comments:

Post a Comment