Sunday, January 20, 2019

Mereka dan Jalan Berlubang

Pulang dari rumah ibu, ibu mertua saya, biasanya saya bersama istri dan anak-anak menyempatkan diri memutari jalan bekas peninggalan MobilOil yang sudah hancur lebur tapi masih terpaksa digunakan oleh masyarakat sekitar itu.

Saya biasanya mengambil rute Blang Bidok, Rayeuk Meunjee, Simpang Rangkaya, Nibong, dan balik lagi ke Blang Bidok, di mana rumah saya berada.

Malam ini, Minggu (20/1/2018), jalan itu lumayan ramai. Di sekitar Simpang Rangkaya, ada anak-anak muda sedang berkumpul dengan sepeda motornya masing-masing. Mungkin mereka lagi "touring".

Istri saya minta agar saya membiarkan mereka lewat dulu, karena mereka pasti berkendara ugal-ugalan. Saya dengan sepeda motor Jupiter MX butut saya, membocengi tiga orang: istri dan dua anak saya yang masih balita.

Takut tersenggol, terpaksa kami mengalah, karena berkendaraan di jalan bekas MobilOil ini tentu tidak bisa lurus. Tapi harus berkelok-kelok karena menghindari lubang yang sudah lumayan dalam.

Sekalipun jalan ini sudah menyedihkan sekali wujudnya, masyakarat terpaksa menggunakannya. 25 tahun jalan ini dulu mulus di tangan MobilOil, mengakibatkan peradaban masyakarat perlahan berpindah ke pinggir jalan ini.

Tapi sekarang jalan ini hancur. Tidak ada yang sudi memperbaikinya lagi. Buat apa? Gas di bawah tanah ibukota terakhir dari kenegerian Keureutoe ini sudah habis terkuras. Gas yang karenanya jalan ini dulu dibuat.

Biarpun demikian, masyarakat masih tetap menggunakannya. Walau mereka harus terpental-pental atau malah bisa-bisa jatuh. Sama halnya seperti anak-anak muda yang saya lihat malam ini, mereka tetap "touring" di gronjalan jalan yang legendaris ini.

Saya menyusul di belakang mereka. Biar aman. Tapi beberapa jenak kemudian, mereka berhenti. Terlihat mereka seperti sedang bermusyawarah. Entah apa yang dibahasnya. Tak tahu. Tapi, sayup-sayup istri saya sempat mendengar sepenggal kalimat salah satu dari mereka, yang membuat saya ketawa.

"Beek hinan! Meuhai that ie hinan!"

Ah, ternyata mereka tadi lagi berembuk, mau berkumpul di warung kopi mana. Satu dari mereka mungkin mengusulkan di sebuah warung kopi yang tak berapa jauh dari posisi mereka berdiri.

Tapi salah satu teman yang lain melarang, bilang, "Jangan di situ! Di situ airnya mahal!" Air di sini maksudnya adalah aneka minuman yang ditawarkan di warung kopi yang dimaksud.

Saya bersama istri tertawa. Anak saya asyik bernyanyi, entah lagu apa. Dalam hati saya membatin, kasian mereka. Generasi melenial seperti mereka masih mendapati jalan yang cukup menyedihkan seperti ini. Ditambah lagi kesulitan ekonomi yang membuat mereka harus memilih-milih warung kopi.

Saya terus melaju bersama istri dan anak-anak. Menyusuri jalan penuh lubang itu. Saya sempat menikmati jalan ini ketika ia dulu masih kinclong. Tidak seperti anak-anak muda itu. Kasian.

No comments:

Post a Comment