Sunday, March 31, 2019

Sandal yang Membuat Saya Berhenti Membaca

Sungguh masalahnya kecil sekali. Sepele. Bagi saya. Tapi bagi anak pertama saya, Nusayba, yang baru mau mencapai umur lima tahun, itu penghinaan. Dan, penghinaan itu, harus dilawan dengan menangis sejadi-jadinya. Sampai tuntutannya terpenuhi.

Akar persoalannya begini. Kemarin dulu, mamanya bersama uaknya (kakak istri saya) pergi ke pasar Blangjruen. Si Sayba tidak ikut. Saya lupa dia lagi main ke mana bersama sepupunya. Lama pula ia pulang dari tempat mainnya itu.

Pas ia pulang dari tempat main, mereka yang ke pasar tadi sudah pulang dengan membawa berbagai barang belanjaan. Termasuk di dalamnya adalah sandal-sandal. Lengkap, dia, adeknya, dan juga sepupu-sepupunya semua dibelikan masing-masing satu pasang.

Celakanya, sandal-sandal itu modelnya tidak sama. Jatah si Sayba, anak saya yang bertuah itu, adalah sandal sejati. Sementara sandal jatah salah satu sepupunya agak kesurupan sepatu. Jadi, mau dibilang sandal ya bukan, sepatu juga bukan.

Tapi, si Sayba suka sandal kesurupan itu. Dan itulah casus belli-nya. Perang pun tak terhindarkan. Tangisan pun pecah. Kalau orang tak punya pengalaman sama tangisan anak kecil, mungkin akan mengira anak saya itu sedang kerasukan klakson tronton. Nangisnya keras dan nyaring minta ampun.

Saya santai saja di depan kipas, karena sudah terbiasa mendengar ia nangis. Paling nanti kalau sudah capek jerit-jerit, lapar, terus minta makan, dan melupakan semua tuntutannya.

Saya, seperti biasa, di hari libur, di rumah pasti asyik masyuk membaca buku ringan sebagai sajian khas akhir pekan saya.

Melihat saya yang tidak begitu memedulikan suaranya, ia mendekat dan mengguncang-guncang badan saya, bilang bahwa saya harus ke pasar Blangjruen sekarang juga, untuk membeli sandalnya, sandal kesurupan itu. Saya berjanji nanti sore. Ia enggak mau, harus sekarang.

Saya masih saja membaca buku. Ia tambah jengkel, dengan bahasa Aceh, ia membentak saya, "Syabe-syabe neubaca buku! Neukubah keudeeh! Neujak blou silop long jinou syiat - Tiap saat kamu baca buku! Simpan saja dulu! Cepat beli sandal saya sekarang!."

Mendengar itu, saya sontak tertawa. Istri saya yang kebetulan juga lagi di situ, juga tertawa cekikikan, sambil bilang, "Ternyata bukan saya saja yang jengkel liat kamu baca buku terus. Ia juga jengkel rupanya." Kami tertawa lagi.

Saya akhirnya mengalah. Buku saya tutup. Terus meraih gerendel pintu, membukanya. Dan, sepeda motor legendaris saya, Jupiter MX, saya hidupkan. Meluncur ke pasar Blangjruen bersama anak saya itu. Ia duduk di depan. Nafasnya masih sesenggukan. Tapi sudah senyam-senyum.

Sandal itu. Sandal kesurupan sepatu itu tadi, sampai di pasar malah ia melupakannya. Terus ia memilih model lain, semacam sandal jepit yang ada boneka kucing berbulu lebat di depannya. Sandal kesurupan kucing!

No comments:

Post a Comment