Sunday, May 12, 2019

Pagar

Baru tahu, kenapa orang-orang di kampung saya ogah bercocok tanam dan memilih membiarkan tanahnya kosong tanpa ditanami apa-apa. Rupanya biaya pembuatan pagar mahalnya minta ampun! Tanpa pagar, tanaman itu hanya akan menjadi pakan gratis buat ternak-ternak, yang juga milik warga kampung, yang dilepas bebas begitu saja.

Pagar yang saya maksud di sini tentu bukan pagar mewah seperti rumah-rumah mentereng itu. Tapi ini pagar kebun, yang biasanya hanya dibuat dengan belahan bambu atau, sekarang karena sudah canggih, pakai jaring kawat.

Awalnya saya tidak tahu perkara harga pembuatan pagar kebun, sampai saat istri saya minta agar kebun kami di samping ruko tempat kami tinggal, dipagari saja. Biar bisa dipakai untuk tanam sayur atau apa saja yang bisa dicemplungkan ke wajan sebagai peneman makan nasi. Biar slogan empat sehat lima sempurna menjadi lebih enak didengar.

Saya, yang lagi santai di depan tivi langsung saja mengiyakan. Setuju sekali. Mengingat menetap di kampung serasa rugi juga jika tidak sedikit bercocok tanam. Padahal tanahnya subur. Lihat saja rumput tetap menghijau sekalipun sedang didera kemarau panjang.

Arkian, dua hari setelah percakapan itu usai, istri saya ternyata sudah mendapatkan tukang pagarnya. Mereka langsung survei ke lokasi. Sorenya, istri saya menemui saya di kamar yang sedang baca buku, bahunya agak lemas, kurang semangat, terus lapor ke saya, "Bi, ongkos buat pagar lima ratus ribu rupiah. Mahal, ya?"

Saya yang tadinya fokus baca buku, sekarang menatap istri saya, bilang, " Ya enggak apa-apa. Dibuat saja"

Saya sebenarnya, ya, agak kaget juga. Tetapi berusaha tetap tenang dan pasang wibawa. Pasalnya, itu pagar hanya 15 kali 15 meter. Enggak luas. Tapi, kelak akhirnya saya tahu, memang membuat pagar kebun itu mahal di ongkos.

"Harga segitu sudah termasuk harga turusnya, Bi. Turus mereka yang carikan. Kita cuma perlu beli jaring kawatnya saja. Bambu untuk beremban ada di rumah ibu, " istri meyakinkan saya bahwa masih ada celah untuk berhemat.

Saya hanya mengiyakan saja. Hatta sekitar dua hari setelahnya, turus sudah mulai ditancapkan melingkari kebun kecil kami, dari cabang-cabang pepohonan yang diharapkan bisa hidup. Biar pagarnya menjadi awet. Sekarang giliran saya harus membeli jaring-jaring kawat.

Satu gulungan panjangnya 15 meter. Harganya 130 ribu rupiah. Pertama saya beli dua gulungan. Saya pikir cukup. Ternyata tidak. Saya harus membeli dua gulung lagi. Untuk jaring kawat saja, menghabiskan dana 520 ribu rupiah. Plus tali ikat pagar sekilogram, 25 ribu rupiah. Total biaya pembuatan pagar seluas 15 kali 15 meter, 1 juta 45 ribu rupiah.

Saya sebenarnya tidak begitu sedih menghabiskan dana satu jutaan rupiah untuk hanya memagari sepetak tanah kecil itu. Saya ikhlas, karena uang yang saya keluarkan itu seratus persen masuk ke saku-saku orang sekitar saya yang memang membutuhkan.

Tak mengapa juga jika pun ongkosnya itu lebih mahal sedikit lagi, tapi yang kerja harus orang kampung. Tapi, yang akhirnya saya sesali adalah, saya menjadi sadar mengapa banyak tanah kosong di kampung saya dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya tanpa ditanami apa-apa. Masalahnya ternyata cuma satu, pagar.

Dan, pagar itu adalah barang mahal. Mengeluarkan uang jutaan rupiah dalam sekejap, mereka harus pensiun dulu sebagai orang miskin. Jadi berpikir, bagaimana jika pemerintah membantu dana bagi warga desa untuk membuat pagar. Atau, mungkin, membuat peraturan desa agar ternak tidak dilepas bebas.

Pagar jaring kawat kebun kami

No comments:

Post a Comment