Monday, March 18, 2019

Gigi dan Keindahan

Entah sejak kapan dalam sejarah peradaban umat manusia, orang yang ditakdirkan mempunyai gigi maju (potrusi) secara sepihak langsung dianggap jelek oleh orang-orang sekitarnya. Celakanya, si penderita, akan menderita minder seumur hidup. Menderita karena takdir.

Sejumlah nama panggilan bernada ejekan juga kadang ditempelkan kepada si penderita. Mulai dari Boneng, Dono, sampai Bokir, yang tak lain, mereka adalah bintang film zaman 70 sampai 80-an yang memiliki gigi tonggos. Gigi keberuntungan mereka.

Khusus untuk nama Boneng, bahkan, belakangan menjadi kata sifat untuk gigi tonggos. Maka tak jarang kita mendengar kalimat seumpama: "Kamu kenal si Polan? Yang giginya boneng itu?". Boneng menjadi kata sifat, yang artinya tonggos, atau potrusi dalam bahasa ilmiahnya.

Bisa dibayangkan betapa sedihnya si penderita. Menjadi tidak percaya diri sama sekali. Lebih-lebih bila itu berurusan dengan asmara, yang salah satu modal besarnya adalah keelokan rupa. Sedangkan keelokan rupa, bumbu wajibnya adalah tidak boneng.

Boneng itu, dari pengamatan saya, secara matematis bisa dianggap sebagai angka nol, yang berapapun nilai parameter lain yang menyusun indeks kegantengan, jika dikalikan dengan nol, maka akan nol semua. Bodi aduhai, kulit kuning langsat, tapi boneng, maka tetap nol akhirnya.

Maka, tak jarang pula terdengar di masyarakat akan ungkapan: "Biar tak ganteng bak aktor, tapi minimal jangan tonggos." Itu prinsip yang tertanam di kepala kita sekarang. Tak tahu juga, mungkin seratus tahun lagi, orang bonenglah yang sebaliknya akan dianggap ganteng. Pernah tahu, kan, dulu orang keriting itu ganteng? Pernah juga, gemuk itu dulu indah, kan?

Tapi berbicara sekarang, tonggos itu adalah noda. Ingat, saya tidak sedang berbicara tentang orang lain. Karena saya dulu juga menderita kebanyakan gigi dan juga sedikit maju, atas bawah, potrusi bimaksiler. Dan saya memang minder saat itu. Walaupun saya punya kelebihan lain yang bisa menutupinya. Saya adalah anak yang lumayan cerdas, di balik ketonggosan saya.

Tapi saya kalah. Saya akhirnya memperbaiki gigi saya. Saat saya melanjutkan studi ke Jogjakarta, di situ saya bertemu doktor gigi spesialis ortodonsi. Gigi saya diperbaiki letaknya. Untuk itu, setidaknya ada delapan gigi saya dicabut agar memiliki cukup ruang buat gigi-gigi sisa untuk berbaris dengan rapi. Selama lima tahun saya mengulum kawat gigi demi kegantengan saya.

Tapi, tentu tidak semua orang boneng seberuntung saya. Mampu ke spesialis ortodonsi yang mahalnya meremangkan bulu roma itu. Dulu, pemasangan awal, lima juta. Kontrol tiap bulan dua ratus ribu. Itu belum lagi biaya foto ronsen dan beragam tetek bengek lainnya. Cukup lumayan mahal.

Akhirnya, banyak mereka yang pergi ke doktor gigi umum atau perawat gigi, yang sebenarnya mereka tidak begitu paham tentang itu. Bahkan ada yang lebih parah, mereka memasang behel ke tukang gigi.

Saya bilang demikian karena saya belajar dari pengalaman ketika saya dirawat oleh spesialis ortodonsi. Pemasangan behel itu sarat ilmu khusus. Yang bukan hanya bab kesehatan saja, tapi estetika juga cukup besar keterlibatannya. Salah satunya, dulu di awal konsultasi dengan ortodontis, saya diberitahu bahwa gigi saya tidak bisa terlalu ditarik ke dalam.

Menurut ortodontis tersebut, itu karena hidung saya lumayan mancung. Menarik mundur gigi harus proporsional dengan bentuk hidung. Kalau tidak, maka wajah nantinya akan berubah seperti nenek ompong!

Pelayanan ortodonsi adalah tindakan kosmetik, yang tidak boleh tidak, estetika harus terlibat. Yang akhirnya akan berujung pada keindahan. Bukan hanya sekedar tidak boneng.

***

Belakangan di beranda Facebook, saya kerap melihat iklan yang menawarkan pembasmian gigi tonggos dengan cepat dan murah, hanya dengan memakai sebuah trainer semacam karet, yang digigit seperti pelindung gigi pada petinju.

Saya tekankan, trainer itu bukan untuk menghilangkan tonggos. Tapi lebih kepada alat untuk menghilangkan kebiasaan buruk otot sekitar mulut yang bisa mempengaruhi struktur gigi. Misalnya, kebiasaan membuka mulut dan mengunyah ketika tertidur. Kebiasaan itu bisa dihilangkan dengan memakai trainer dalam rentang waktu tertentu.

Saya, ketika dulu mulai memasang behel di spesialis ortodonsi, juga diwajibkan menggunakan trainer itu untuk menghilangkan kebiasaan buruk otot di sekitar mulut. Agar kinerja behel dapat lebih maksimal.

Terakhir, saya ingin bersuara untuk kaum saya. Semoga ke depan, agar tindakan ortodonsi bisa dimasukkan ke dalam daftar tindakan yang ditanggung BPJS!

Zainal Abidin Zetta alias Boneng (sumber gambar: Google)

No comments:

Post a Comment