Saturday, August 10, 2019

Ibu-ibu dan Bumbu Masak

Dulu, di daerah kelahiran saya, Blangjruen, yang namanya membeli bumbu masak jadi, itu agak tabu. Bumbu itu harus digiling sendiri di rumah. Dari pasar hanya membeli rempah mentahnya saja. Kemudian diracik sendiri, terus digiling. Itu peraturan tak tertulis buat kaum ibu-ibu rumah tangga di lingkungan saya.

Karenanya, jika sekali-sekali mereka bertamu ke rumah saudara di kota, jika masakan yang disuguhkan ternyata tidak enak di lidah, maka tuduhan pertama kepada yang empunya rumah adalah, ini bumbunya pasti dibeli di pasar. Bukan digiling sendiri. Entah bagaimana caranya mereka tahu. Padahal bumbu racikan sendiri pun ada juga "rendang berasa rujak".

Oleh karena itu, di pasar Blangjruen, pasar kecamatan yang masih kental nuansa desanya, seingat saya, usaha penggilingan bumbu dapur baru-baru ini saja naik bintangnya. Dulu-dulu, usaha penggilingan bumbu belum mendapat panggung di sini.

Saya kelahiran tahun 80. Ini menurut pengakuan saudara saya. Saya sendiri tak tahu kapan saya dilahirkan. Saat saya duduk di bangku SD, belum ada usaha penggilingan bumbu di pasar. Kemudian samar-samar saya ingat, di saat saya duduk di bangku SMP-lah, mulai ada usaha penggilingan itu. Tapi ia masih terseok-seok di jasa bumbu Mie Aceh saja. Tidak lebih jauh merambah ke bumbu dapur lainnya.

Akan tetapi, tiga dekade setelahnya, sekarang, jangan tanya lagi. Di Blangjruen ibu-ibu berkerumun membeli bumbu untuk hampir semua jenis masakannya. Mau masak daging sapi kuah kuning, tinggal bilang saja. Untuk kadar berapa kilo daging bumbunya. Tinggal ngomong saja. Maka bumbu siap diracik oleh penjual.

Tak ada lagi stigma "kuah bumbu belian". Tak ada lagi celaan bagi sesiapa yang tidak menggiling bumbu masaknya sendiri. Tidak ada lagi. Yang ada, jika masakannya tak sedap, cercaan teralamatkan kepada si tulang bumbu. Tak enak bumbu rendang sama si Pulan. Besok beli saja di kedai si Polin. Di sana kata orang-orang, sedap.

Dan, ada satu lagi yang unik. Ternyata rata-rata peracik bumbu itu adalah laki-laki. Jadi, jangan bilang emansipasi wanita di Aceh ini. Karena masalah itu telah tuntas dari dulu-dulu ketika empat periode kepemimpinan kerajaan Aceh diletakkan di atas tangan sultanah (sultan perempuan). 

Dan bahkan, seandainya ke depan ada istilah emansipasi laki-laki, maka sekarang pun kita sudah usai dalam bab itu. Dari bumbu masak ini kita ambil teladannya. Ketangkasan laki-laki dalam memasak, dewasa ini sudah jelas, bukan lagi bersuluh batang pisang, tapi bersuluh matahari. Laki-laki Aceh tak tabu lagi menaklukkan perkara-perkara dapur.

No comments:

Post a Comment