Tuesday, August 13, 2019

Wajib Buka Sandal ketika Masuk Ruangan

Yang paling tidak saya sukai ketika belanja di toko atau pergi ke rumah sakit, adalah saat saya masuk, yang merasa mempunyai tempat itu menyuruh saya membuka sandal atau sepatu. Pernah saya tidak jadi masuk toko karena saya malas membuka sepatu. Merepotkan.

Tapi karena barang yang mau saya beli ada di situ dan saya pun malas ke tempat lain, akhirnya saya hanya berdiri di luar "batas suci" dan meminta barang yang mau saya beli diantar saja ke situ. Memang, pedagang itu sebenarnya sudah mempersilakan saya masuk saja. Tidak mengapa dengan bersepatu.

Tapi saya malas. Soalnya yang lain pada membuka sandalnya semua. Taat perturan. Saya pun tak mau diistimewakan. Mereka dan saya sama-sama pelanggan. Soal saya malas buka sepatu, itu risiko saya. Saya harus berdiri di luar. Atau, kalau saya tidak mau, silakan saja pergi. Jangan merusak peraturan orang. Yang semua telah rela menaatinya.

Soal rumah sakit, saya juga heran. Padahal rumah sakit itu adalah sarangnya kuman. Bibit penyakit bersimaharajalela di situ. Tentunya mereka tahu itu. Seharusnya, bagi para pengelola rumah sakit, jika ada orang datang tanpa sandal, marahi dia, dan jangan izinkan masuk kalau tak bersandal.

Tapi ini, yang terjadi justeru sebaliknya, orang bagus-bagus datang beralas kaki, malah dipaksa mencopot sepatu dan sandalnya sebelum masuk ke sana. Oke, jika takut sandal pengunjung mengotori ruang inap, mengapa tidak dipersiapkan selipar murah yang bisa dipinjam oleh pengunjung?

Pengunjung harus diberitahu. Mereka harus diedukasi, bahwa bertelanjang kaki di rumah sakit tidaklah baik. Tak ada lekuk yang aman dari bibit penyakit di situ. Bukankah pasien dengan berbagai macam penyakit akhirnya dibawa ke situ? Beserta penyakit yang dideritanya?

Tapi lagi-lagi, saya bukan posturnya pemrotes, tak ada jiwa pemberontak. Sekalipun saya tahu itu salah, saya seringnya malah jadi Pak Turut. Apa-apa dituruti. Jika saya tak suka dengan peraturan itu, saya memilih menjauh tinimbang beradu teori dengan mereka. Inilah mungkin sisi negatif saya.

Syahdan. Malam lebaran kemarin, saya membeli peci buat salat Idul Adha esok paginya. Saya membelinya di sebuah toko peci di bilangan Simpang Rangkaya, sekilometer ke selatan Pasar Blangjruen. Lantai kedainya berkarpet bersih.

Semua pelanggan membuka sandalnya. Saya lihat penjualnya juga tak berselipar. Saya juga ikut membuka sandal. Setelah membeli sebuah peci dan dua kitab kecil tulisan Melayu-Arab, saya pun keluar. Mau pulang. Saat itu memang hanya saya yang tinggal. Pelanggan lain sudah keluar setelah hajatnya selesai.

Saya yang keluar belakangan, betapa kaget dan jengkelnya, setelah menyadari bahwa salah satu dari mereka telah salah memakai sandal. Yang tinggal di situ hanya sandal saya yang sebelah kanan. Satunya lagi yang sebelah kiri entah sandal siapa. Kakinya mungkin sudah mati rasa, sampai tak sadar memakai sandal "selein" sebeda itu.

Bukan main berangnya saya. Akhirnya saya pulang dengan kaki kosong dan dengan pikiran yang gusar. Nomor hape saya titipkan ke yang punya toko. Tak berapa lama saya pun dihubungi. Bilang bahwa sandalnya telah balik. Saya meluncur ke sana lagi. Sandalnya kudapat kembali. Tapi sakit hati saya masih terasa sampai sekarang!
__________
Catatan:
Selein: kata sifat untuk sandal yang dipakai bukan dengan pasangannya. Kata ini berasal dari bahasa Jawa. Saya belum mendapatkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Dan juga dalam bahasa Aceh.
Sandal yang tertinggal buat saya malam itu.

No comments:

Post a Comment