Saturday, August 24, 2019

Panglima Tibang Disangka Pahlawan

Ada sebuah warung nasi yang menempelkan poster kumpulan pahlawan Aceh di dindingnya. Parahnya, ada foto Panglima Tibang di situ. Padahal Panglima Tibang sampai sekarang masih dicap pengkhianat oleh masyarakat Aceh.

Jadi terheran-heran saya melihatnya. Tapi, mungkin dia belum tahu siapa itu Panglima Tibang. Atau tak sadar bahwa itu adalah Panglima Tibang? Karena di poster itu Panglima Tibang ditulis dengan titel lengkap: Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad.

Oke, baiknya, saya ceritakan sedikit tentang orang yang kontroversial ini. Orang yang namanya sampai sekarang masih digunakan sebagai ikon pengkhianat oleh masyarakat Aceh. Anda perlu menarik nafas dalam-dalam dulu. Karena tulisan ini agak sedikit panjang. Mari...

***

Namanya Ramasami. Anak Madras. India. Konon, sejak umur enam tahun, ia telah ikut grup hiburan keliling, yang berkunjung ke negara mana saja untuk menawarkan jasa hiburannya. Tak terkecuali, Kerajaan Aceh Darussalam juga ikut menjadi tujuan lawatannya itu.

Ia tiba di Tanah Rencong semasa tampuk pimpinan Kerajaan Aceh Darussalam berada di genggaman Sultan Ibrahim Mansursyah, yang memimpin Aceh dari tahun 1857 sampai dengan tahun 1870.
Umurnya genap enam belas tahun ketika ia menjejakkan kakinya di Aceh. Ia melakonkan keahliannya dalam hal menari, melawak, dan bermain silap mata, yang membuat penonton bukan main terpukaunya. 

Untuk diketahui, kala dunia radio, apalagi televisi, belum ada, mendapatkan seniman yang gayanya cukup menghibur seperti itu, tentu siapa saja ingin memilikinya. Wanita-wanita mengidamkan menjadi istrinya. Orang-orang kaya pun mau pula jika seniman itu tinggal di rumahnya.

Tak ketinggalan, Teuku Lamgugop, salah satu panglima sultan yang memimpin daerah Lamgugop, ikut tertarik akan keahlian Ramasami dalam menghibur. Sehingga pemuda Madras itu diminta tinggal di rumahnya. Soal biaya hidupnya, tentu tak sulit, ditanggung kerajaan, karena ia menjadi mualaf tak lama setelah itu. Dan bersalin nama menjadi Muhammad.

Sekali waktu, terjadilah pemberontakan hulubalang Kayee Adang, menentang kepemimpinan Sultan Ibrahim. Untuk meredamnya, Sultan meminta panglimanya, Teuku Langgugop, untuk meredam perbuatan makar itu. 

Perlawanan hulubalang Kayee Adang berhasil dilumpuhkan. Hulubalang Kayee Adang sendiri tewas. Kepalanya berhasil dipenggal. Adalah Muhammad, yang menenteng kepala pemberontak itu, kemudian diarak keliling kota sambil ditari-tarikan.

Mulai saat itu, nama Muhammad anak Madras sayup-sayup mulai menembus dinding istana. Sultan merasa tertarik akan keteguhan hatinya dalam membasmi pemberontak yang merong-rong kewibawaan kerajaan. Di luar, ia pun mulai menjadi buah mulut masyarakat sekitar.

Pucuk dicinta ulam tiba, hendak ulam pucuk menjulai. Suatu hari permaisuri sultan bertamu ke rumah Teuku Lamgugop, tempat Muhammad tinggal. Tak mau membuang-buang waktu, ia memanfaatkan momen itu sebaik-baiknya. Ia menghibur permaisuri. 

Sudah pasti, bukan main tertariknya permaisuri melihat pertunjukan Muhammad, yang berakhir pada permintaan beliau agar anak muda itu dibawa saja ke istana, untuk bekerja di sana. Tentu ia tak akan menolak. Teuku Lamgugop pun pasti rela melepaskannya, untuk memenuhi permintaan atasannya.

Mulai saat itu, bukan hanya namanya saja yang menembus dinding istana, tapi Muhammad seutuhnya menjadi salah satu penghuninya. Ia pandai bergaul. Karenanya, tak lama setelah itu ia ditugaskan sebagai ketua pengatur upacara istana untuk hiburan dalam penyambutan tamu-tamu istimewa sultan.
Karirnya belum berhenti di situ. Atas ketangkasannya, ia pun sekarang diserahi jabatan pimpinan sebuah daerah di sekitar istana. Yaitu wilayah Tibang. Sehingga sekarang namanya pun menjadi begitu lengkap dengan sederet titel kebangsawanan: Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad.
Mulai saat itulah, ia dikenal dengan lakab, Panglima Tibang. Atau, dalam beberapa buku namanya hanya disebut dengan Tibang saja. Mungkin ini biar singkat dalam menuliskannya. Dan cepat pengucapannya.

Anak muda ini sangat bisa merebut panggung di kerajaan Aceh. Bayangkan saja. Tak lama setelahnya, ia berhasil meyakinkan sultan bahwa ia cocok diserahi jabatan syahbandar Aceh. Jabatan Syahbandar ini tidak main-main. Di kerajaan Aceh, posisi ini setara dengan menteri keuangan kerajaan!

Pada tahun 1870, sultan Ibrahim Mansursyah mangkat. Yang mulia tidak meninggalkan putra mahkota. Adalah Tibang, yang merupakan salah seorang yang memiliki andil besar dalam menyeret anak dari mantan sultan Aceh Sulaimansyah menjadi Sultan yang baru dengan nama Sultan Alauddin Mahmudsyah.

Saat pengangkatan, Sultan Mahmudsyah masih di bawah umur. Sehingga jabatan beliau sebagai sultan dijalankan oleh Habib Abdurrahman Azzahir dan Panglima Tibang. Dua tokoh asing ini saling berebut pengaruh di lingkungan istana. Satu sama lain saling menjegal. Saling menfitnah.

Kondisi ini terus berlangsung sampai Belanda menginvasi Aceh pada tahun 1873. Pembesar kerajaan Aceh pun terpecah menjadi dua kubu. Kubu Habib Abdurrahman Azzahir disokong oleh Panglima Polem Cs. Pihak Panglima Tibang didukung oleh Teuku Kali Malikul Adil Cs, yang juga merupakan "walikota" ibukota kerajaan, Kutaraja.

Di antara kedua kubu itu, kubu Tibanglah yang lebih dekat dengan Sultan yang masih muda itu. Tibang berhasil menakut-nakuti Sultan dengan isu bahwa Habib Abdurrahman Azzahir berambisi menggantikannya sebagai sultan Aceh. 

Saking percayanya kepada Tibang, Sultan Mahmudsyah pernah mengutusnya ke Riau sebagai ketua delegasi Aceh untuk berunding dengan residen Belanda Schiff. Perundingan ini untuk membujuk Belanda agar menunda niatnya ke Aceh sampai enam bulan ke depan, Desember 1872.

Ini dilakukan oleh Aceh untuk mengulur-ulur waktu agar Belanda menunda menyerang Aceh selama mungkin. Agar Aceh cukup waktu untuk mempersiapkan mesin perangnya untuk menghadapi mereka. Karena cepat atau lambat, Belanda pasti akan menyerang Aceh.

Kepada delegasi Aceh, Schiff bilang bahwa Belanda tidak akan memaksa Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda atas waliyahnya. Apalagi sampai mau menyerang Aceh. Itu tidak akan dilakukan. Aceh dengan Belanda masih terikat dengan perjanjian damai yang ditandatangani pada tahun 1857 dulu.

Ini perkataan lahirnya. Soal batin siapa tahu. Mengingat hubungan Aceh-Belanda ternyata makin hari makin memburuk saja. Tinggal sedikit saja lagi, jika mereka mampu menemui kesalahan Aceh yang bisa digunakan untuk menyakinkan Den Haag, maka moncong meriam akan diarahkan ke Serambi Mekah ini.

Setelah perundingan usai, delegasi Aceh diantar pulang dengan kapal perang Belanda "Marnix". Namun di tengah jalan Tibang meminta agar kapal dibelokkan ke Singapura. Ia bilang, ingin ke sana sebentar untuk membeli kapal uap pesanan Sultan, yang akan digunakan sebagai sarana transportasi di Aceh.

Namun, bukan kapal uap yang akan dibeli, tapi di sana Tibang menghubungi Konsul Amerika dan Perancis untuk menjalin kerjasama pertahanan dengan Aceh untuk menangkis agresi Belanda.
Celakanya, Tibang menggunakan jasa Teungku Muhammad Arifin untuk menjadi penghubung sekaligus penerjemah antara ia dengan Konsul Amerika, Mayor Studer. Arifin ini tak lain adalah kaki tangan Konsul Belanda, Read, di Singapura. Dia anak kelahiran Minangkabau dan pernah dulu selama enam bulan tinggal di Aceh.

Akhirnya, pertemuan Tibang dengan Studer dibocorkan oleh Arifin kepada Read. Read melapor kepada Schiff, bahwa Aceh telah berselingkuh. Aceh terus dituduh telah melanggar perjanjian damai yang ditandatangani pada tahun 1857. 

Inilah casus belli-nya yang digunakan Belanda untuk menyerang Aceh. Di samping kesalahan-kesalahan lain yang dari dulu telah ditumpuk-tumpuk dan dibuat-buat. Karena, tanpa alasan yang kuat, Balanda tidak bisa menyerang Aceh, semenjak masyarakat mereka sendiri banyak yang menentang agresi itu.

Selanjutnya, kasus Tibang - Studer di Singapura, telah digoreng sedemikian rupa oleh Arifin, di saat dia bilang bahwa Amerika telah setuju membantu Aceh untuk melawan Belanda. Kapal perang Amerika yang saat itu sedang berada di Hongkong, dikabarkan akan berangkat ke Aceh, dan akan sampai dalam dua bulan ke depan. Ternyata isu itu tidak benar. Hanya karangan Arifin belaka.

Tapi, kasus ini mengakibatkan Belanda melakukan rapat kilat di Jakarta. Yang menghasilkan kesimpulan bahwa penaklukan atas Aceh harus segera dilakukan. Kemudian armada perang dikirim ke Aceh, yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Sekalipun dia gagal saat menyerang dan dia tewas, tapi tahun 1874 dalam serangan lanjutan, Van Swieten berhasil menguasai istana Aceh.

Terus, sampai di sini, di mana kesalahan Tibang yang membuat dia dicap sebagai pengkhianat oleh orang Aceh, bahkan sampai hari ini? Saya sendiri agak bingung sebenarnya. Karena bukan ahli politik. Tapi untung saja, sejarahwan H.M. Thamrin Z dalam bukunya telah merangkumnya buat kita.
Pertama, kesalahan Tibang adalah ketika ia tidak hati-hati saat berdiplomasi dengan Amerika di Singapura. Ia menggunakan Arifin yang tak lain adalah kaki tangan Belanda. Malah, disinyalir, pertemuan Tibang-Studer yang melibatkan Arifin, hanyalah skenario Balanda agar dia dapat menuduh Aceh berselingkuh. Dan bisa menyerangnya.

Kedua, Tibang memang diduga sejak awal ingin menjebak Aceh terlibat ke dalam skandal itu, setelah terlebih dahulu membocorkan kelemahan Aceh kepada Belanda. Karena dari sumber lain ada diceritakan bahwa Tibang berhutang budi pada residen Riau Schiff. Di saat dia, karena boros, menghabiskan uang Aceh yang sejatinya dititipkan kepadanya untuk membeli kapal uap. Saat itu, Schiff membantunya dengan uang tunai.

Lebih jelas lagi belangnya, ketika Aceh akhirnya diserang oleh Belanda, dan di saat pasukan kerajaan Aceh sedang gencar-gencarnya bertempur melawan Belanda, Tibang malah asyik masyuk tinggal di Idi yang hulubalangnya telah takluk kepada Belanda. Dan puncaknya, di tahun 1879 dia berbalik arah mendukung Belanda. Menjadi informan kunci untuk menaklukkan Aceh!
Sebuah poster daftar pahlawan Aceh yang mengikutkan Panglima Tibang di dalamnya.

No comments:

Post a Comment