Thursday, August 1, 2019

Sampah Plastik Yang Harus Dikelola

Di belakang ruko tempat saya tinggal, adalah bekas kali tua yang sekarang sudah dangkal, dan sebagiannya telah dijadikan jalur irigasi. Secara kehidupan biasa, dan berpikir biasa, maka ke kali itulah saya harus membuang sampah.

Dan itu "sah". Tak seorang pun yang akan mencela. Buang sampah itu ya ke kali. Air datang akan mengangkutnya. Tak peduli ia kandas dan tersangkut di mana. Sampah itu hanya jadi masalah saat berada di depan mata saja. Bergeser sedikit saja dari ruang pandang, siapa peduli.

Tentu tak mengapa jika itu adalah sampah organik, yang asalnya dari tumbuh-tumbuhan. Tanah mampu mengunyahnya. Tapi sampah sintetis, semacam plastik misalnya, itu adalah penyakit. Penyakit bagi tanah. Penyakit bagi sungai. Dan akhirnya, penyakit bagi manusia.

Sampah organik, alamlah yang menciptakannya. Karenanya, alam mampu menghancurkannya. Sedangkan sampah sintetis, manusialah yang membuatnya, maka hanya manusialah yang sanggup menghancurkannya.

Jangan buang sampah plastik sembarangan, karena tanah tidak sanggup mengurainya. Plastik akan tetap menjadi plastik sekalipun terpendam lama di dalam tanah. Mengumpulkan dan membakarnya adalah salah satu cara terbaik, sekalipun bukan yang paling baik.

Itulah yang sering saya lakukan di hampir setiap empat hari sekali. Membakar sampah rumah tangga saya sendiri, yang sembilan puluh persennya terbuat dari plastik. Hampir semua sampah sintetis.

Saya sering, dan bahkan juga sengaja membakar sampah di waktu sore. Ketika matahari telah berselindung di balik pepohonan tinggi yang tumbuh liar di dangkalan kali tua belakang ruko saya.

Saya, istri, dan anak-anak biasanya saat itu sedang bersantai di belakang ruko. Sambil membakar sampah kami bercengkerama. Dan ternyata itu bisa menambah menghidupkan suasana. Di saat bersantai ada pekerjaan kecil yang dilakukan. Membakar sampah.

Diiringi suara kerosok radio mini kesayangan saya, yang sedang berusaha keras menangkap sinyal yang dipancarkan jauh dari Lhokseumawe sana, membuat seolah hidup terlempar ke zaman revolusi dulu. Ke zaman film Saur Sepuh, yang setiap desa yang ditampilkan pasti ada asapnya.
Tempat pembakaran sampah di belakang ruko kami

No comments:

Post a Comment