Sunday, July 21, 2019

Pilih Buku Cetak atau Buku Digital?

Dulu, saya boleh dikata agak anti buku digital atau ebook. Diawal-awal kuliah doktor di Taiwan, saya masih setia dengan buku cetak. Tidak mau, dan bahkan sering mengaku tak nyaman kalau membaca buku digital, yang harus dilayari di hape itu.

Saat masih di Taiwan, untuk memenuhi bahan bacaan ringan, saya menjadi pelanggan setia perpustakaan pemerintah di Kaohsiung. Satu-satunya perpustakaan megah yang pernah saya temui. Bukan hanya sebagai tempat membaca dan belajar, tapi juga untuk rekreasi.

Walaupun perpustakaan tersebut ada di negara yang jauhnya lima jam terbang dari tanah air, buku-buku berbahasa Indonesia cukuplah jumlahnya untuk saya baca selama empat tahun di negeri Chiang Kai-Shek itu. Di sana ada satu rak khusus yang menyediakan buku-buku berbahasa Indonesia.

Dari perpustakaan itulah saya menamatkan banyak novel. Ketika menatap paper-paper ilmiah yang ruwet itu menjadi cukup membosankan. Membuat urat kuduk menegang dan kepala mendadak pusing. Itu tandanya saya harus berganti bahan bacaan, ke yang santai-santai.

Waktu itu, kemanapun saya pergi, di ransel saya pasti ada buku, yang siap saya baca ketika menunggu bus, di dalam bus, atau malah di warung makan sekalipun, ketika di sekeliling saya tidak ada yang bisa saya ajak bercengkerama.

Itulah era buku cetak saya. Paruh kedua tinggal di Taiwan, virus buku digital mulai masuk, dari teman saya yang juga gila baca. Awalnya, saya mananggapinya dingin saja. Masih terpesona dengan buku versi cetak. Tapi makin ke sini, pesona buku cetak makin kehilangan racunnya bagi saya.

Saat itu saya sudah mulai membaca buku-buku digital pdf tentang sejarah Aceh, yang disebarkan secara bebas oleh perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Walaupun sekarang akses untuk itu telah ditutup, sehingga kita tidak bisa lagi mengunduhnya, namun kebiasaan membaca buku digital telah merasuki saya.

Jadi, gegara fasilitas dari perpustakaan Leiden itu, saya menjadi terbiasa membaca lama-lama buku pdf, yang saya layari di hape. Padahal saat itu telepon pintar saya lumayan kecil. Tapi banyak pula buku saya tamatkan dengannya.

Hal yang demikian itu berlangsung sampai akhirnya teman saya mengkritiknya. Bahwa itu tak baik buat mata. Saya dianjurkan untuk membeli notepad. Yang besarnya sama dengan ukuran buku versi cetak. Agar mata tidak cepat lelah ketika membacanya.

Saya menurutinya. Membeli notepad. Bekas pakai. Tapi masih bagus. Seukuran delapan inchi. Notepad itu masih saya gunakan sampai sekarang. Khusus untuk membaca buku.

Maka, mulai saat itu, saya sudah terikat dengan buku digital. Saat itu pula, saya berkenalan dengan Play Book. Penyedia buku digital besutan Google. Yang sudah ada beberapa penerbit terkenal yang menerbitkan bukunya di situ. Seperti Mizan dan Bentang Pustaka, misalnya.

Sekarang, jika saya ingin membaca sebuah buku, pasti yang akan saya cek dulu adalah, apakah ia tersedia di Play Book atau tidak. Jika tidak ada, baru saya beralih membeli buku cetak. Prioritas utama, tetap buku digital. Ebook.

Banyak manfaatnya buku digital itu bagi saya. Pertama, ini yang paling penting, saya bisa membacanya di mana saja. Termasuk saat nongkrong di kedai kopi. Saat tidur, ketika lampu kamar dimatikan, saya bisa langsung mengaktifkan mode baca malam, dan cahaya hape diredupkan sampai ke taraf nyaman untuk dibaca.

Dengan membaca di hape, hampir tak ada orang yang tahu bahwa saya sedang membaca buku. Kerena yang terlihat bahwa saya hanya main-main hape saja. Sama halnya seperti anak-anak muda lain. Tapi jika ditelisik ke layar hape, maka yang terlihat hanya deretan paragraf-paragraf buku.

Selain itu, manfaatnya lagi, adalah murah, dan mudah membayar ketika membelinya. Saya bisa langsung memasukkannya ke tagihan bulanan biaya telepon saya. Dan buku langsung bisa dibaca. Tak perlu menunggu kiriman yang bisa sampai seminggu itu.

Dan lagi, ini yang paling unik masalahnya. Jika saya sedang membaca buku cetak di rumah dan itu terlihat sama anak laki-laki saya, yang baru hampir tiga tahun umurnya itu, ia juga pengin baca. Terus, pakai nangis guling-guling lagi jika tidak dikasih. Dan, selesailah sudah kalau sudah begitu. Buku akan rusak sebelum aku menamatkannya.

Terakhir, ini hampir lupa saya utarakan. Harus diingat bahwa, budaya literasi dalam masyarakat kita Indonesia Raya ini masih sangat rendah. Orang di sekeliling Anda akan risih jika tiba-tiba Anda datang ke tongkrongan, bawa buku tebal-tebal, dan membaca di situ. Suasana sebagai ini, tidak akan terjadi jika Anda baca buku di hape!
Anak saya, sedang menyandera buku cetak ayahnya

No comments:

Post a Comment