Monday, November 11, 2019

Malaka, Biang Tumbuh dan Meluruhnya Aceh

Pintu gerbang itu berdiri suram. Porta de Santiago. Namanya. Seakan ia dulu tak pernah megah. Pintu gerbang itu, teronggok sendiri. Hanya pintu gerbang. Cuma itu yang tersisa sekarang untuk menyapa para pengunjung. Dindingnya, telah dihancurkan. Untuk memenuhi nafsu serakah para kolonial.

Porta de Santiago, menjadi pintasan di memori saya akan darah 20 ribu pasukan kerajaan Aceh. Mereka gugur menjadi syuhada sebelum sempat menyentuh dinding pintu gerbang ini. Dinding yang melindungi sebuah kota pertahanan kolonial Portugis di Malaka. Kota pertahanan A Famosa. Kota pertahanan racikan Portugis.

Syahdan. Di akhir abad keempat belas. Kerajaan Jawa Hindu Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, menyerang Palembang, Pasai, dan juga tak tertinggal, mata kerisnya dihantamkan ke atas punggung Singapura pada sekira tahun 1377.

Singapura saat itu juga berupa kerajaan Hindu. Dinakhodai oleh raja berlakab Parameswara, keturunan Sriwijaya Palembang. Atas serangan Majapahit, Singapura alah. Parameswara lari ke Malaka. Orang-orang Islam Pasai juga banyak yang lari ke situ. Di Malaka saat itu belum ada kerajaan. Ia berada dibawah kerajaan Siam (Thailand).

Parameswara kemudian dirajakan di Malaka. Tapi tetap menjadi vasal Siam. Bingkisan kesetiaan tetap selalu dikirim ke Siam. Ini menjadi awal berdirinya kerajaan Malaka yang kelak menjadi kerajaan Melayu yang gilang gemilang di Semenanjung.

Pengaruh imigran Pasai, dakwah seorang ulama Jeddah Sidi Abdul Aziz, dan juga karena sakit hatinya pada kerajaan Majapahit, Parameswara akhirnya memilih Islam menjadi agama barunya. Dan bersalin nama menjadi Sultan Muhammad Syah.

Pengaruh Islam juga karena ia berbiras dengan Sultan Malikussaleh Pasai. Istri Sultan Muhammad Syah adalah saudara perempuan dari permaisuri Sultan Malikussaleh Putri Gangga. Anak raja Pereulak.

Kerajaan Malaka kelak begitu berjaya. Banyak kapal pedagang dari berbagai belahan dunia bersilang siur di pelabuhannya. Sampai akhirnya, madu Malaka tercium oleh agresor Portugis. Ini adalah akhir dari segalanya bagi kerajaan Malaka.

Awal abad keenam belas, Portugis datang ke Malaka dengan dalih berdagang. Tahun 1509, kaki "Benggali Putih" itu menjejak di tanah Malaka di bawah pimpinan Diego Lopez de Sequeira. Mereka diterima baik oleh Sultan. Pinta mereka hendak membeli setumpak tanah untuk gudang berniaga pun dikabulkan Sultan.

Sementara sebagian awak kapal tinggal di Malaka untuk membangun gudang, Sequeira kembali ke Goa India untuk melapor kepada gubernur Portugis di Goa Alfonso de Albuqueque, bahwa Malaka baiknya dikuasai saja! Apalagi Sequeira mencium ada perpecahan antara Bendahara dan Sultan. Bendahara lebih tinggi bintangnya di masyarakat tinimbang Sultan.

Maka, tak lama, de Albuquerque mengirim Gonzalo Pereira ke Malaka untuk menyerang. Malaka kaget dan murka. Mereka melawan, di bawah pimpinan Bendahara. Gudang Portugis dibakar. Penghuninya ditangkap. Ada sembilan orang berhasil kabur ke Pidie Aceh. Sementara Pereira tewas.

Portugis kali ini kalah telak. Gegara ini Bendahara makin naik saja bintangnya. Menenggelamkan nama Sultan. de Albuquerque gusar bukan kepalang mendengar kekalahan ini. Ia akan menyusun kekuatan untuk agresinya yang kedua.

Setelah Bendahara wafat, maka pada tahun 1511 de Albuquerque memimpin sendiri agresi keduanya ke Malaka. Dalam perjalanan dari Goa, ia singgah di Pidie Aceh. Di sana ia bertemu sembilan orang Portugis yang dulu lari dari amukan Malaka. Dan mereka sekarang bergabung lagi.

Sampai di Malaka pasukan Portugis disambut baik oleh Sultan. Sultan mengirim utusan untuk bertemu de Albuquerque. Sultan bilang bahwa amukan yang dulu itu bukan atas persetujuannya. Itu hanya polah dari Bendahara. Oleh karena itu, aku Sultan, Bendahara telah dibunuh atas kelancangannya itu.

Setelah menerima laporan itu, de Albuquerque meminta agar tawanan Portugis segera dibebaskan. Namun, Sultan telat menanggapi permintaan itu. Maka Portugis menggempur kota pantai Malaka sampai hangus terbakar. Setelah itu baru Sultan mengembalikan tawanan itu. Setelah kelar masalah pertama, kemudian de Albuquerque mengajukan permintaan kedua, agar Malaka mengganti seluruh kerugian Portugis selama peperangan di Malaka.

Kali ini, Sultan tegas menolak. Maka perang pun pecah. Malaka alah setelah sepuluh hari berperang. Sultan Mahmud Syah terpaksa kabur ke pulau Bintan. Setelah kemudian Bintan jatuh juga, Baginda lari ke Kampar, Riau, Sumatera. Ia tetap dirajakan di sana sampai wafatnya pada tahun 1528. Makamnya masih bisa ditemukan sampai sekarang di Kampar.

Itulah akhir dari kerajaan Islam Malaka. Malaka mulai tahun 1511 menjadi jajahan Portugis. Untuk memperkuat posisinya, Portugis membangun kota pertahanan yang diberi nama A Famosa dibekas reruntuhan istana Sultan, di atas sebuah bukit yang dulu disebut dengan bukit Malaka.

Di tangan Portugis, bukit itu berubah nama menjadi Bukit ST. Paul, karena di atasnya telah dibangun sebuah gereja Katolik ST. Paul. Gereja tersebut, sisanya masih bisa dilihat sampai sekarang. Sementara dinding, sebagai benteng yang mengelilingi bukit ST. Paul, sudah tak bersisa lagi sekarang. Hanya pintu gerbangnya saja yang masih bisa dilihat. Yaitu apa yang dinamai dengan Porta de Santiago.

Sekarang kita tinggalkan dulu tanah Malaka dengan Portugisnya, menuju Aceh. Pada tahun 1507 Sultan Ibrahim dari Pidie berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dan membentuk kerajaan Aceh Darussalam dengan ia sendiri menjadi Sultan pertamanya, dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah.

Sebagaimana telah kita uraikan di muka, di mana empat tahun kemudian, 1511, Malaka tewas diterjang Portugis, pedagang-pedagang Islam yang dulu aktif berdagang di Malaka, sekarang memutar haluan ke Aceh. Jalur Selat Malaka mulai mereka tinggalkan. Mulai saat itulah, Aceh mulai naik bintangnya. Pelabuhannya menjadi hidup dan pantai barat Aceh menggeliat menggantikan peran Selat Malaka.

Dari informasi ini dapat dipahami bahwa, sebenarnya secara ekonomi, jatuhnya Malaka justeru menguntungkan Aceh. Kerajaan Aceh menjadi berkembang. Namun secara politik, Portugis di Malaka bagai duri dalam daging bagi Aceh. Maka secara turun temurun kerajaan Aceh selalu menyerang Portugis di Malaka.

Sultan Alauddin Riayatsyah Alqahhar dua kali menyerang Portugis di Malaka, yaitu pada tahun 1547 dan 1568. Dan pada tahun 1579, Sultan Alauddin Mansyur Syah juga ikut menyerbu ke sana. Tetapi penyerangan-penyerangan itu gagal. Hanya beberapa kerajaan Melayu saja yang berhasil ditaklukkan. Sementara Portugis di Malaka tetap berdiri tegak.

Aceh nemang belum bosan untuk terus menyerang Portugis di Malaka. Pada tahun 1629, Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, Sultan Aceh yang gilang gemilang, ikut menyusun kekuatan untuk merontokkan Malaka. Tak kurang dari 236 kapal perang dan 20 ribu prajurit dikirim ke Malaka.

Tapi, ada kabar buruk dalam penyerangan kali ini. Panglima Sultan, Orang Kaya Laksamana, yang telah berpengalaman dalam memimpin penaklukan demi penaklukan, tidak setuju atas penyerangan kali ini. Menurutnya ini waktunya tidak tepat untuk menyerang.

Tapi Sultan ambisinya telah memuncak. Penyerangan menurutnya harus dilakukan. Akhirnya, Perdana Menterinya, Orang Kaya Raja Setia Lela, bersedia untuk memimpin ekspedisi ini. Tapi Laksamana juga ikut ditugaskan ke sana. Sekalipun hanya ditugaskan untuk memimpin pasukan kecil saja. Maka laskar pun berangkatlah.

Sampai di sana, Malaka dikepung oleh pasukan Aceh selama lima bulan. Satu per satu pertahanan Portugis direbut pasukan darat Aceh, yang dipimpin oleh Orang Kaya Laksamana. Orang Kaya Raja Setia Lela memimpin penyerangan melalui sungai Malaka.

Pasukan darat pertama merebut Bandar Hilir, kemudian benteng Bukit ST. John. Seterusnya, Gereja Madre de Dios juga berhasil diduduki setelah dua bulan dikepung. Portugis sekarang terdesak ke benteng pertahanan terakhirnya, yaitu bukit ST. Paul di A Famosa. Benteng A Famosa itulah yang tidak bisa ditaklukkan karena bentuknya yang sulit diterobos.

Pasukan Aceh cukup lama mengepung A Famosa. Portugis memang telah sangat siap atas serangan ini. Logistik di dalam Benteng melimpah untuk dihabiskan dalam waktu lama. Sehingga mereka bisa bertahan dalam waktu yang lama saat dikepung pasukan Aceh.

Pengepungan yang begitu lama itu ternyata merugikan Aceh. Di mana tiba-tiba bantuan sekutu Portugis datang, yaitu dari Pahang, Johor, dan Patani. Dan juga, pasukan Portugis sendiri dari Goa tiba-tiba muncul menambah kekuatan sekutu.

Dengan kedatangan mereka, sekarang justru Aceh yang terkepung (meubaleek kompreeh). Pasukan laut Aceh yang sudah terlanjur masuk ke muara sungai Malaka, tidak bisa keluar lagi. Kemudian diserang habis-habisan sampai wafat semuanya. Termasuk Orang Kaya Raja Setia Lela menjadi korban.

Orang Kaya Laksamana di darat hanya bisa melihat saja pasukan laut Aceh diserang. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi telah ada gesekan antara kedua pemimpin ini. Akhirnya, setelah menghabisi pasukan laut, sekarang pasukan darat Aceh mulai diserang. Laksamana terdesak, dan meminta damai, tapi ditolak oleh Portugis. Laksamana diminta menyerahkan diri saja.

Laksamana tidak mau menyerah dan menyelamatkan diri ke hutan Malaka. Tapi akhirnya, karena sudah sangat terdesak, Laksamana mau menyerahkan diri kepada pasukan Pahang dengan syarat tidak diserahkan ke Portugis.

Namun, setelah menyerah, Laksamana diserahkan juga ke Portugis. Bukan main riangnya pasukan Portugis. Laksamana direncanakan akan dibawa ke Lisabon untuk diarak di kota sebagai kebanggaan mereka karena sudah mampu memukul habis pasukan Aceh yang "super power" kala itu. Tapi sahib riwayat menyatakan bahwa Laksmana tidak sampai ke Lisabon. Di perjalanan Beliau dikabarkan terbunuh. Entah apa yang terjadi.

Inilah akhir dari kemegahan armada laut Aceh. Bisa dikatakan, 20 ribu pasukan Aceh wafat saat mencoba menaklukkan Portugis di Malaka. Ada enam belas prajurit yang tersisa sempat pulang sampai ke Aceh. Tapi akhirnya dibunuh juga oleh Sultan karena murkanya atas berita itu.

Mulai saat itu, kemegahan angkatan laut Aceh mengendur. Aceh mulai sulit mengontrol daerah taklukannya untuk melakukan monopoli perdagangan. Aceh di masa Iskandar Muda walaupun gilang gemilang dengan berbagai penaklukan, tapi tentara Aceh cukup banyak juga binasa, yang puncaknya terjadi di Malaka.

Tak lama setelahnya, tujuh tahun berlalu, secara tiba-tiba Sultan Iskandar Muda wafat pada tanggal 27 Desember 1636. Dari bacaan saya, ada informasi Baginda diracun oleh para wanita Makasar atas suruhan Portugis.

Memang, beberapa saat sebelum Baginda mangkat, beliau menginstruksikan agar orang-orang Portugis yang ada di Aceh dibunuh. Mungkin ini karena sakit hatinya pada kaum mereka yang telah menenggelamkan ambisinya!

Ditulis di Malaka, 11 November 2019
__________
Untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah ini, setidaknya silakan baca empat buku berikut:
1. Sejarah Umat Islam, oleh Hamka
2. Aceh Sepanjang Abad Jilid 1, oleh Muhammad Said
3. Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, oleh Rusdi Sufi.
4. Tarich Atjeh dan Nusantara, oleh Zainuddin

Bekas pintu gerbang benteng A Famosa, Porta de Santiago. Di belakangnya adalah Bukit ST. Paul.

No comments:

Post a Comment