Friday, December 27, 2019

Abuya Muda Waly

Banyak juga orang sekitar saya bertanya perihal sejarah Abuya Muda Waly pada saya. Padahal seharusnya yang lebih layak ditanyai tentang orang besar ini adalah kepada para santri. Karena beliau adalah Bapaknya ulama-ulama Aceh sampai sekarang.

Sementara saya, walaupun pernah menjadi santri, hanya sebentar saja. Selebihnya saya habiskan untuk bersekolah, yang baru selesai 2017 lalu, memperoleh gelar Doktor. Mungkin, ini menjadi bukti apa yang dikatakan salah satu profesor saya dulu: kamu doktor, siap-siap saja orang akan menganggap kamu mengerti semua hal. Padahal tidak.

Tapi tidak apa-apa juga. Minat baca saya benar-benar membantu saya selama ini. Dan mungkin itulah sebabnya saya ditanyai segala hal. Jika kebetulan tahu, maka saya jawab. Kalau tidak tahu, maka minta maaf saja. Terkait Abuya Muda Waly ini, kebetulan saya telah lama membaca biografi beliau, yang ditulis oleh putra pertamanya, Prof. Muhibuddin Waly.

Jika kita membaca sejarah Aceh masa revolusi fisik, nama Abuya pasti disebut-sebut. Karena beliau adalah salah satu tokoh Aceh yang berperan pada masa itu. Dalam dunia politik, beliau juga salah satu tokoh PERTI (Persatuan Tarbiah Islamiah) Aceh.

Untuk pembaca setia saya, setelah saya kombinasi buku biografi beliau dengan beberapa buku sejarah Aceh masa revolusi fisik yang pernah saya baca, maka berikut cerita singkat tentang orang yang sampai sekarang masih menjadi buah mulut masyarakat Aceh itu:

Agak panjang. Tarik nafas dulu...

***

Seorang perantau dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia seorang pendakwah Islam. Namanya Syekh Muhammad Salim bin Malin Palito. Sebelumnya, pamannya yang dikenal dengan Tuanku Peulumat telah lebih dulu menjejakkan kaki di Aceh Selatan, Labuhan Haji.

Tak lama setelah menetap di Labuhan Haji di bawah bimbingan pamannya, Muhammad Salim menemui jodohnya. Siti Janadat. Puteri seorang kepala desa di Labuhan Haji. Dari hubungan suci inilah maka lahir seorang putera dengan nama kecil Muhammad Waly, yang kelak menjadi ulama besar di Aceh dengan panggilan Abuya Muda Waly.

Muhammad Waly kecil memperoleh ilmu agama langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama. Di samping itu, ia juga disekolahkan di Volks School (sekolah rakyat) yang dewasa itu banyak didirikan oleh pemerintahan Belanda di desa-desa.

Setamat dari Volks School, barulah Muhammad Waly memperdalam ilmu agama di ibukota Labuhan Haji, di sebuah pesantren bernama Jam'iyah Alkhairiyah, pimpinan Teungku Muhammad Ali Lampisang (sepupu Syekh Hasan Krueng Kalee).

Di pesantren itulah Muhammad Waly ditempa ilmu agamanya. Sembari belajar di pesantren tersebut, tak lupa Muhammad Waly juga melanjutkan sekolahnya di sekolah umum Vorvolks School.

Kelar dari pesantren Tuengku M. Ali Lampisang, Muhammad Waly (selanjutnya saya sebut Abuya) hijrah ke Blang Pidie untuk melanjutkan studi agamanya ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu ke pesantren Bustanul Huda asuhan ulama besar Syekh Mahmud dari Aceh Besar.

Perlu diketahui, bahwa pada masa itu pengaruh pemikiran Kaum Muda, yang oleh penentangnya dari Kaum Tua disebut sebagai Wahabi, sudah tersebar di Aceh Selatan. Madrasah-madrasah yang berhaluan Kaum Muda sudah didirikan di sana. 

Seperti Sumatra Thawalib misalnya, yang guru-gurunya dikirim silih berganti dari Padang, Sumatera Barat. Termasuk di dalamnya adalah Haji Rasul, ayahanda dari Prof. Hamka, yang merupakan salah satu pelopor gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat. 

Kaum Muda ini selalu berselisih dengan Kaum Tua, yang menurut mereka, Kaum Tua ini banyak mempraktikkan ibadah yang tidak sesuai dengan Sunnah. Banyak melakukan Bidah, khurafat, dan takhayul.

Tidak ada keterangan pada saya apakah Abuya saat itu ikut terpengaruh dengan pemikiran Kaum Muda atau tidak. Tetapi saat beliau belajar di Bustanul Huda, ia sempat berselisih dengan gurunya Syekh Mahmud perkara zikir dan salawat dengan suara keras setelah salat di mesjid-mesjid. Perselisihan semacam ini sangat khas Kaum Muda. 

Abuya dengan dalilnya menyatakan, zikir dan salawat dengan suara keras setelah salat di masjid itu "haram", dan Syekh Mahmud dengan alasannya sendiri mempertahankan hukum sebaliknya. Terjadilah ketegangan antara guru dan muridnya itu. Di kalangan Kaum Tua, sebagaimana kita tahu, silang pendapat yang frontal antara guru dan murid semacam ini agak tabu.

Ketegangan ini masih berlangsung sampai Abuya memilih berhijrah ke Kutaraja untuk melanjutkan studi agamanya. Saat beliau minta izin ke gurunya Syekh Mahmud, beliau tidak mendapat jawaban apa-apa. Sepertinya Syekh Mahmud masih belum bisa memaafkan muridnya itu. 

Tapi, di saat kelak Abuya kembali lagi ke Labuhan Haji dan berhasil mengalahkan seorang ustaz dari kalangan Kaum Muda PUSA dalam sebuah perdebatan, Syekh Mahmud baru memaafkan muridnya itu.

Sekalipun saat itu belum mendapatkan maaf dan doa dari gurunya, Abuya tetap berangkat ke Kutaraja, ke pesantren Syekh Hasan Krueng Kalee. Beliau ingin menimba ilmu di sana. Tetapi sayang, saat tiba di sana, setelah mengikuti Syekh Hasan Krueng Kalee yang saat itu sedang mengkaji kitab Jauhar Maknun, Abuya merasa tidak ada yang lebih dari yang telah beliau punyai.

Sekalipun demikian, Abuya tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kalee sebagai gurunya. Lebih-lebih lagi, Syekh Mahmud, gurunya di Blang Pidie dulu itu, adalah murid dari dari ulama besar Aceh itu. Guru dari gurunya, berarti guru Abuya juga.

Tak jauh ke sebelah barat Kutaraja, di Inderapuri, telah terhembus kabar bahwa ada seorang ulama yang alim. Syekh Ahmad Hasballah Inderapuri namanya. Beliau alim dalam ilmu kiraat Al-Qur'an. Abuya yang merasa kurang dalam ilmu itu, pilihannya tentu jatuh ke pesantren tersebut.

Ini menarik, karena Syekh Ahmad Hasballah Inderapuri beraliran Kaum Muda. Sistem belajar juga beda dengan pesantren biasa. Sudah menerapkan sistem Eropa. Misalnya, belajar dengan pakai meja dan bangku. Tidak lesehan layaknya pesantren tradisional yang dikelola Kaum Tua.

Setelah sehari di Krueng Kalee, Abuya berangkat ke Inderapuri. Ingin mengaji di situ. Abuya adalah anak yang cerdas. Sekali waktu saat seorang ustaz sedang mendaraskan sebuah kitab Arab, Abuya sontak tunjuk tangan karena ada bacaan ustaz itu yang salah. Ia kemudian membetulkannya.

Mulai saat itu, perhatian guru tertuju kepada anak cerdas ini. Bahkan Syekh Ahmad Hasballah sendiri setuju atas usulan mengangkatnya sebagai salah satu dewan guru di pesantren tersebut. 

Abuya tentu berbahagia mendengar kabar ini, karena sampai saat itu uang belanjanya sudah mulai menipis. Dengan menjadi guru di situ, ia tidak perlu resah lagi perkara uang belanjaan.

Jadinya bukan malah belajar, Abuya di Indrapuri malah menjadi pengajar di pesantren tersebut. Kecerdasannya sekarang bukan hanya masyhur di kalangan santri saja, tetapi masyarakat sekitar pun mengetahui kealimannya.

Itulah kemudian, kecerdasan anak Blang Poroh ini juga tercium oleh Teuku Hasan Gelumpang Payong, seorang uleebalang di Pidie yang juga konsul Muhammadiyah Aceh kala itu. Teuku Hasan berniat akan mengirimnya ke Kairo Mesir untuk lebih mengembangkan kemampuan ilmu agamanya.

Teuku Hasan Geulumpang Payong ini dikenal pula dengan Teuku Hasan Dik. Beliau meninggal dibunuh tentara Jepang di Medan karena dituduh menjelek-jelekkan dan membocorkan kelemahan negara Jepang kepada masyarakat Aceh menjelang kekalahannya terhadap pasukan sekutu.

Sebelum ke Mesir, oleh Teuku Hasan Abuya lebih dulu dikirim ke Padang untuk belajar di Normal Islam School yang didirikan oleh Ustaz Mahmud Yunus, seorang sarjana lulusan Al Azhar Kairo. Abuya dikirim ke situ sebagai batu loncatan untuk nantinya bisa melanjutkan ke Kairo.

Mulai saat itulah, Abuya meninggalkan Aceh menuju Padang Sumatera Barat. Negeri kelahiran Ayahnya. Dan juga mulai saat itu pula, sejarah ilmu pengetahuan agamanya yang gilang gemilang, melejit tajam. Diawali dari Aceh, diasah di Padang, dan nantinya terakhir dikembangkan di Aceh lagi, negeri kelahirannya.

Sesampai di Normal Islam Padang, Abuya langsung mendaftar menjadi siswa. Namun, setelah tiga bulan belajar di situ, ia mengundurkan diri secara hormat. Ia tidak tertarik belajar di sekolah tersebut. Ia bercita-cita ingin menjadi ulama besar. Sementara di Normal Islam ini yang diajarkan banyak ilmu umum. Ilmu agama hanya sedikit dalam kurikulum. 

Yang lebih mengusiknya lagi adalah, siswa di situ diwajibkan memakai setelan celana panjang, baju lengkap dengan dasi. Dan juga wajib ikut olahraga. Daripada menghabiskan waktu dan usia, pikirnya lebih baik beliau pulang saja ke Aceh. Normal Islam School bukan jalan menuju dunianya yang beliau cita-citakan.

Namun, ketika mau pulang ke Aceh, Abuya ditahan oleh Ismail Yakub, seorang cendekiawan Aron Aceh Utara, yang telah terlebih dulu sekolah di Padang. Ismail Yakub meminta Abuya untuk jangan pulang dulu ke Aceh. Lebih baik jalan-jalan dulu di Padang. Siapa tahu ada manfaatnya dari apa yang dilihat.

Untuk informasi tambahan. Bagi warga Blangjruen dan sekitarnya, seharusnya mengenal tokoh Ismail Yakub ini. Beliau adalah anak cerdas asal Aron yang disekolahkan ke Padang oleh Uleebalang Keureutoe Teuku Chik Muhammad Basyah yang kala itu berdalam di Blangjruen.

Setelah selesai studinya di Padang, Ismail Yakub kembali ke Blangjruen untuk mengelola madrasah Bustanul Maarif yang didirikan oleh Teuku Chik Muhammad Basyah pada tahun 1938. Ismail Yakup menjadi direktur sekolah tersebut. Dan Teuku Raja Sabi, putera tunggal Cut Nyak Meutia, sebagai salah satu pengelolanya. Madrasah Bustanul Ma'arif ini, kami orang Blangjruen menyebutnya dengan nama 'Sikula Abeuek Langgeh".

Baik, kita kembali lagi ke Padang.

Memang arahan Ismail Yakub itu cukup bermanfaat bagi Abuya. Sekali waktu, beliau ikut salat magrib berjamaah di sebuah surau. Telah menjadi adat di surau itu, bahwa ada pengajian setelah salat magrib. Abuya ikut mendengarkannya. Hal yang dulu terjadi di Inderapuri, berlaku juga di sini. 

Abuya memperbaiki bacaan ustaz dan koreksinya itu diterima dengan senang hati oleh ustaz tersebut.
Maka mulai saat itu juga, ustaz tersebut meminta Abuya agar datang ke sarau untuk mengimami salat dan juga mengisi pengajian. Abuya yang berasal dari Aceh tentu semakin cepat diterima oleh warga sekitar sebagai orang alim. 

Dari mengisi pengajian di surau itulah, nama Muhammad Waly menyebar di masyarakat dan dipanggil dengan Angku Mudo. Tak terkecuali, ulama besar Padang, Syekh Haji Khatib Ali dari golongan Kaum Tua, ikut mengagumi kepiawaiannya. Yang pada akhirnya menikahkan Angku Mudo ini dengan seorang cucunya.

Abuya, walaupun masih muda saat itu, tapi beliau mengikuti aliran Kaum Tua. Dan barang tentu, bersama ulama Kaum Tua mempertahankan akidah Ahli Sunnah Waljamaah dan mazhab Syafii di Padang. Saat itu Abuya juga berkenalan dengan Syekh Jamil Jaho, yang karena kekagumannya, juga mengambilnya sebagai menantu.

Rumah Abuya di Padang sekaligus menjadi tempat pengajian. Banyak sudah muridnya. Bila ada acara hari-hari besar Islam, rumahnya penuh disesaki jamaah Ahlussunah Waljamaah. Rumahnya itu juga menjadi tempat diskusi antara beliau dengan ulama-ulama di Padang.

Waktu berjalan terus, sampai Abuya pada suatu tahun berangkat naik haji ke Baitullah. Ia berangkat ditemani istri keduanya, puteri Syekh Jamil Jaho. Selama tiga bulan di Masjidil Haram, waktu benar-benar dimanfaatkannya.

Selain berhaji, beliau juga mengaji pada ulama-ulama di Masjidil Haram. Salah satunya yang terkenal adalah Syekh Ali Maliki. Dari Syekh inilah beliau mendapat ijazah Islamiah dan bahkan ijazah ilmu hadits. Di Arab, beliau tidak mengambil tarekat tasawuf. Baru kemudian setelah pulang ke tanah air, beliau mengambilnya di Kampar pada Syekh Haji Abdul Gani Alkamfari.

Setelah beliau memperoleh ijazah tarekat naqsabandiyah dari Syekh Abdul Gani, beliau pulang lagi ke Padang dan mendirikan pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqien di Lubuk Bagalung. Banyak murid berdatangan, termasuk dari Aceh, tanah kelahirannya.

Namun, pesantren itu tidak berlangsung lama. Tahun 1942 Belanda kalah dan Jepang masuk ke Hindia. Suasana menjadi tidak kondusif lagi di Padang. Akhirnya, beliau kembali ke Labuhan Haji Aceh Selatan. Di Labuhan Haji, kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Darussalam. 

Dari Pesantren inilah, ulama Aceh dicetak. Untuk kawasan Blangjruen dan sekitarnya, setahu saya ada dua ulama yang merupakan murid langsung dari Abuya Muda Waly: yaitu Abu Hanafi Matangkeh Matangkuli dan Almarhum Abu Muhammad Isa Mulieng Aron, ayahanda dari Waled Mustafa M. Isa Pulo.

Menarik bagi saya, nama Abu Muhammad Isa Mulieng setidaknya dua kali disebutkan oleh Prof. Muhibuddin Waly dalam menulis biografi ayahnya itu. Mungkin saja, beliau sangat terkenang dengan ulama Aron ini. Beliau adalah ulama ahli Hisab Aceh Utara yang belajar ilmu Falak langsung pada Abuya Muda Waly.

No comments:

Post a Comment