Saturday, January 18, 2020

Berawal dari Surati

Gegara si Sayba, anak pertama saya, yang masih balita itu. Empat bulan lalu, pulang-pulang, ia membawa bayi itik surati (cairina moschata) di tangannya. Surati yang masih dua warna. Kuning dan hitam. Masih manis dan lucu. Matanya masih indah dengan coretan hitam mendatar di ujung ke dua matanya.

Membawa pulang bebek, bukan main bangganya ia saat melapor bahwa ia sekarang sudah punya itik. Tapi, alih-alih memberi ucapan selamat padanya, saya malah menginterogasi. Tentu ini di luar harapannya. Saya tanya, bebek siapa yang dia ambil. Ia menggeleng, bilang bahwa bebek itu ia temukan di jalan. Bukan punya orang yang diambilnya.

Saya tanya berkali-kali, dasar anak kecil, jawabannya ya itu-itu saja. Sorenya saya tanya ke sepupunya, juga tidak ada jawaban yang memuaskan. Giliran ibu mertua ikut saya kabari perihal itu. Ia bilang di rumah juga tidak ada induk surati yang sedang beranak. Di sekitar rumah saya dan ibu, juga tidak terlihat ada bebek yang lagi jalan sama anak-anaknya. Terus, itik siapa yang diambilnya. Gelap.

Ah, masalah kok ya jadi ruwet begini. Bingung. Walhasil, saya akhirnya memang harus merawat bayi bebek itu. Memberinya makan. Saya taruh ia di ember. Malamnya saya tutup kain. Biar tidak kedinginan. Hari terus berlalu. Saya tetap tidak tahu itu bebek siapa.

Saya juga tidak mau mengakuinya sebagai punya saya. Saya membayangkan, kalau bebek ini nanti besar, dan kebetulan betina, kemudian beranak-pinak, seperti kambingnya si Saklabah dalam cerita itu, habislah saya. Sementara bebek itu menjadi banyak dari benih yang tidak sah.

Sama istri, saya sempat bilang, kalau bebek itu nanti sudah besar, kita jual saja, kemudian uangnya kita sedekahkan saja ke masjid. Logikanya masuk. Maka bebek itu pun saya rawat, seperti bebek sendiri.

Tapi hari demi hari, saya kasian juga melihat si lucu ini sendirian saja. Makan sendiri. Tidur sendiri. Serba sendiri. Saat itulah saya berpikir untuk mencarinya teman. Saya membeli sepuluh anak bebek lain. Itik Peking. Itik asal Tiongkok yang miskin warna itu. Putih semua. Cuma paruhnya saja yang agak kuning.

Masalah baru, muncul. Surati sama peking jika dikumpulkan ternyata tidak akur. Peking suka nyubit-nyubit sembarangan. Surati menangis sejadi-jadinya. Duh, akhirnya, mereka harus saya pisahkan. Peking saya pindahkan ke sangkar baru. Surati tetap menikmati kesendiriannya.

Seleksi alam berjalan atas mereka. Ketika peking di sangkar sebelah makin hari makin bongsor saja badannya, surati mendekap badannya sendiri yang kian hari kian ringkih. Decit suara khasnya dari hari ke hari terus melemah. Surati sakit. Tubuhnya terkulai. Makan dan minum seolah dia tidak memerlukannya lagi. Pakan terus utuh.

Sampai akhirnya janji Tuhan berlaku atasnya. Surati menyerah. Meninggal dunia. Ia saya kebumikan tidak jauh dari rumah. Saya tak tahu, apakah harus bersedih atau gembira atas kematiannya. Mengingat kehadirannya merupakan beban karena ia bukan kepunyaan saya, tetapi terpaksa aku rawat karena ulah anakku.

Riwayat surati selesai, tapi riwayat peking berjalan terus. Menemani kami. Sepuluh peking yang saya beli awalnya. Dan saya besarkan. Aku masih merasa kurang kalau hanya sepuluh, maka aku beli lagi bebek air untuk meramaikan. Saya tambah lagi itik surati lain. Sampai bebek saya mendekati tiga puluh jumlahnya.

Ternyata, itik sejumlah itu berat. Makannya banyak. Dikasih sedikit, nangisnya ribut kayak di parkiran truk tronton. Cara mendiamkannya hanya satu: beri dia makan. Dan kemudian beolnya banyak dan berserak!
Bebek-bebek saya. Difoto, malah dikiranya mau kasih makan.

No comments:

Post a Comment