Saturday, February 1, 2020

Nasi Briyani di Lhokseumawe

Tidak seperti biasanya memang, pagi kemarin (31/1/2020) saya bilang ke istri bahwa saya enggak bawa bekal ke kampus.

"Kenapa," tanyanya sembiri terus cuci piring, "ada acara?"

"Enggak ada. Cuma nanti siang pengin makan nasi briyani," jawab saya sambil pakai sepatu, kemudian menatapnya, "Kamu mau?"

"Enggak. Saya belikan yang lain saja."

Saya pun pergi.

Istri saya tak suka nasi khas India itu. Sementara saya, mendengar namanya saja sudah cukup membuat jakun saya naik-turun. Entah apa enaknya, bumbu khas India yang kuat itu begitu memukau lidah saya.

Soal tak suka briyani, istri saya tak sendiri, ada satu kawan saya, ia malah benci sama masakan India. Bikin bau badan katanya. Tapi saya yakin istri saya bukan itu alasannya. Ia punya alasan lain yang aku juga tak mau tanya.

Soal bau badan. Ah, kan ada deodoran? Bagi saya bukan masalah kalau hanya soal bau badan. Masakan India begitu nikmat untuk ditinggalkan begitu saja tanpa sedikit mau berjuang atas efek negatifnya. Apalagi hanya sekadar soal bau. Jering malah lebih parah dalam hal itu. Tapi aku juga menikmatinya.

Di Lhokseumawe, setahu saya hanya satu tempat ada warung briyani, di warung Koki India. Sekitar seratusan meter ke selatan SPBU Kuta Blang. Itu pun gak buka tiap hari. Cuma hari Jumat doang. Buka dari pukul 10.30 sampai lepas siang.

Sebenarnya sudah lama saya mendengar kabar tentang keberadaan briyani di Lhokseumawe. Tapi baru kemarin saya menyempatkan diri ke sana. Ini ada pengaruhnya dengan hari Jumat. Saya lebih sering salat Jumat di kampung tinimbang di luar. Karenanya makan briyani pun luput lama.

Sebelum tiba di sana, saya membayangkan warung ini ramai betul pengunjungnya. Tapi ternyata sepi. Mungkin saja ini karena saya datang agak cepat. Pukul 10.30. Belum waktunya makan. Tapi di meja-meja sudah tertata botol-botol air mineral. Ini menjadi dalil bagi saya bahwa meja-meja itu nanti bakal dipenuhi oleh pelanggan saat jam makan siang.

Sampai di situ saya dilayani oleh dua orang ibu-ibu. Satunya masih muda dan cantik. Saya tidak bisa menangkap wajah India dari kakak itu jika saya bandingkan dengan wajah wanita-wanita Aceh. Sulit memang, mengingat banyak gegadis cantik Aceh mirip-mirip seperti itu.

Yang laki juga banyak yang mirip India. Kulit gelap, berbulu, dan hidung mancung, itu adalah pemandangan biasa jika kita sedang berada di Aceh. Jadi, agak sulit memisahkan wajah India dengan Aceh. Dan, menurut pengakuan salah seorang yang tidak mau disebutkan namanya, saya ini, malah, katanya mirip Sanjay Dutt. Bintang film India itu. Ea.. ea.. ea.

Saya tidak makan di situ. Saya minta dibungkuskan saja. Makan di kantor. Saya pilih nasi briyani ayam kampung, setelah sebelumya saya terus berulang tanya, apakah nasi itu dimasak berbarengan dengan daging kambing, karena mereka juga menyediakan briyani daging kambing. Saya takutnya briyani ayam sama kambing dimasak bareng, walaupun dalam penyajiannya nanti dipisah.

Saya fobia sama daging kambing. Bukan karena darah tinggi, bukan. Desakan darah saya normal. Tapi karena kedua orang tua saya menderita dan akhirnya kalah melawan hipertensi dan diabetes, saya sekarang jadi takut sama kambing. Jangankan makan, mencium aroma kari kambing saja sudah cukup membuat aku pusing. Padahal itu baru sugesti, Saudara-saudara.

Tapi keresahan saya itu pupus tak bersisa ketika kakak itu bilang bahwa mereka tidak memasak briyani bareng daging. Daging dan nasi dimasak terpisah. Berbeda dengan briyani yang saya ketahui selama ini, dimasak dengan cara nasi, bumbu, dan daging dicampur menjadi satu. Jadi, briyani yang ini, aman. Soal rasa, nanti dulu.

Saya ikut memperhatikan saat nasi saya dibungkus. Melihat cara mereka menyaji juga sebuah kesenangan tersendiri. Nasi dibungkus bareng daging ayam kampung yang terbalur bumbu pekat. Kuah dibungkus secara terpisah. Kuah dalica namanya, katanya.

Kuah itu bersayur terong, pisang muda, dan, ini yang unik, ada kedondong! Itu. Kedondong yang biasa kita bikin rujak. Yang kata sebagian orang, bijinya bisa dipakai untuk pelega tenggorokan. Caranya, bijinya diikat dengan benang, terus ditelan, kemudian tarik lagi ke luar. Mau coba? Silakan. Saya gak ikutan.

Di samping dalica, sedikit acar nanas juga ikut meramaikan. Cuma satu yang kurang dari briyani ini dengan yang pernah saya makan saat berada di luar negeri: tak ada yoghurt, susu asam hasil fermentasi itu. Sekalipun saya tidak menyukainya, yoghurt ini paling tidak menjadi ornamen yang membuat piring briyani menjadi semarak berisi.

Sampai di kampus briyani itu saya makan. Saat itulah baru saya sadar, ternyata beras yang dipakai bukan beras basmati: beras kecil tapi panjang, khas briyani India. Tapi itu tentu tak mengapa. Yang penting, rasanya enak, bumbunya berasa. Dan semua itu kudapatkan ketika menyantap briyani kemaren.

Dan dalica itu, belum pernah saya makan sebelumnya. Mengingat kuah tersebut tidak pernah disajikan selama saya makan briyani di tempat lain. Rasanya saya pikir sama persis dengan kari kambing Aceh. Memang kalau soal masakan dan wajah, Aceh - India sungguh bersaudara dekat.
Nasi briyani dari Koki India Lhokseumawe

No comments:

Post a Comment