Monday, March 9, 2020

Dosen dan Angin Surga

Kayaknya yang enggak sabar itu bukan saya. Tapi orang-orang yang melihat saya. Bagaimana tidak, coba. Saya ini seorang dosen. Pendidikan begitu tinggi. Bahkan sudah setinggi janur. Doktor punya barang. Tapi kehidupan saya, sama saja seperti amtenar biasa yang mungkin hanya lulusan sekolah menengah. Begitu mungkin yang dipikirkan orang.

Saya, enjoi saja, Kawan. Karena dari awal, cita-cita saya adalah jadi dosen, dan dengannya bisa kuliah tinggi-tinggi. Dan itu sudah tercapai semua. Satu lagi, mungkin, sebagai ambisi baru saya, ia itu menjadi Profesor. Tapi tentu itu harus menunggu sampai kepalaku dipenuhi uban semua. Atau jangan-jangan botak sekalian.

Banyak yang menyangka bahwa dosen itu gajinya tinggi. Padahal kenyataannya sama saja dengan guru-guru PNS di SMA. Enggak ada bedanya! Terus apa lebihnya jadi dosen tinimbang jadi guru? Secara ekonomi yang saya rasakan sama saja. Tapi soal prestise, saya harus mengakui, saya bangga jadi dosen.

Itu sudah cukup alasan bagi saya untuk selalu tersenyum, dengan sedikit bahu terangkat, ketika berangkat kerja tiap pagi dari Blangjruen ke Buketrata, Lhokseumawe. PP. Pulang pergi. Kadang-kadang pakai mobil pribadi. Sering juga naik Jupiter MX tua, jika melihat saldo di rekening sudah pada kondisi menyedihkan, dan posisi angka satu di kalender masih saujana mata memandang.

Itu semua saya nikmati bersama istri saya yang cantik dan anak-anak saya yang lucu-lucu itu. Ini, serius, lo. Saya serius menikmatinya. Enggak main-main ini. Saya benar-benar takut jika saya dimasukkan Tuhan ke dalam golongan orang-orang yang tidak mau bersyukur. Semoga Tuhan melindungi saya dan keluarga dari sifat itu.

Tapi, yang namanya manusia, saya pengin juga agar bisa berpendapatan lebih dari yang sekarang ini. Dan memang, dua tahun yang lalu, begitu selesai doktor, saya yang lugu-lugu kelabu begini, sempat berpikir bahwa ijazah doktor saya mampu mendongkrak pendapatan saya, melalui dana penelitian.

Tapi, harapan saya pupus, setelah mengetahui ternyata dana penelitian itu seketip pun tidak bisa diambil untuk dosen yang meneliti. Karena gaji saya yang sekarang ini, ternyata sudah termasuk upah saya dalam meneliti.

Terus bagaimana ini? Ya, enggak apa-apa. Dinikmati saja. Terus ijazah doktornya, masakan tidak ada korelasinya sedikitpun sama gaji? Pak, Bu, cukup panggil saya Doktor Usman. Sudah, itu saja sudah cukup bagi saya. Itu sebagai tanda bahwa saya betul-betul bangga dengan pendidikan saya.

Eh, hampir lupa. Baru-baru ini saya dapat kabar yang meyakinkan bahwa dosen yang meneliti akan diberi honor tiga puluh persen dari biaya penelitian yang didapatkannya. Sekalipun masih wacana, bolehlah saya sedikit tersenyum sedari sekarang. Demi angin surga itu, Kawan.

Ngomong-ngomong, Yamaha NMAX bekas berapa harganya ya?

No comments:

Post a Comment