Jika berbicara tentang guru. Saya mungkin salah satu murid yang paling banyak dosanya dengan mereka. Dari SD sampai SMP saya adalah murid yang nakal dan menjengkelkan bagi hampir semua guru-guru saya.
Kebiasaan saya yang suka menyela penjelasan mereka untuk maksud lucu-lucuan dan bahan olokkan, sampai sekarang masih membuat saya menyesal. Ketika menjadi murid di SD Negeri 1 Blangjruen, kekurangajaran saya itu tak terkalahkan.
Namun, di SMP saya sedikit membaik, saya mempunyai seorang guru yang mampu meredam sifat olok-olok saya itu, Ibu Antikah namanya. Beliau masih sehat dan aktif mengajar di SMP Blangjruen sampai sekarang.
Sifat olok-olok saya tidak mampu menghantam wanita bersuara lembut itu. Pernah sekali saya menyela ketika dia sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas. Dia langsung merespons dengan bijak.
Dia menyerang saya dengan kata yang sangat halus tapi menohok jantung saya. Setelah mental saya jatuh serendah-rendahnya, kemudian dia mengangkat saya lagi dengan nasihat-nasihatnya.
Mulai saat itu, tingkah saya mulai membaik, walaupun secara sporadis masih juga bertingkah aneh di kelas. Tapi tidak dengan dia lagi, dengan guru lain. Pasca kejadian itu sifat jelek saya sudah mulai menurun. Memang sulit memperbaiki secara cepat anak yang masih ingusan dan tak tahu diri seperti saya ini.
Titik tolak yang mengubah hidup saya dari anak nakal dan olok-olok menjadi seperti sekarang ini tidak terlepas dari campur tangan nasihat menyejukkan darinya. Seingat saya, dia menjadi wali kelas saya selama dua tahun. Dan juga mengajar bahasa Indonesia di kelas saya selama dua tahun juga.
Di minggu-minggu terakhir sekolah di SMP 1 Negeri Blangjruen, dialah yang menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah ke STM Negeri Bireuen, satu-satunya STM negeri di Aceh Utara waktu itu. "kamu lanjutkan ke STM saja, Usman," ujarnya dengan senyuman tipis khas di bibirnya.
Anjurannya itu benar-benar menancap di hatiku sebagaimana nasihat-nasihatnya. Setelah lulus SMP saya pun melamar ke STM Negeri Bireuen. Tapi sayang, setelah menjalani tes segala macam rupa, saya tidak diterima di sekolah yang megah itu. Wajar, memang anak goblok. Matematika saja hanya tambah kurang kali bagi yang aku pahami. Itu pun jangan lebih dari dua angka.
Saya sedih, mental saya anjlok sampai ke bawah sandal kulit, yang hanya kukenakan ketika lebaran dan waktu-waktu penting itu, saat melihat papan pengumuman kelulusan di halaman STM. Namaku tidak ada di situ.
Saya panik karena pendaftaran semua sekolah SMA negeri sudah ditutup. Kecuali satu sekolah swasta yang memang menunggu limpahan murid yang tidak lulus di STM yang menjadi idola bagi sekian banyak murid se-kabupaten itu.
Nama sekolah tersebut adalah STM Rekayasa Bireuen. Sekolah itulah yang mau menerima saya yang sedang patah hati. Pada saat itu sekolah tersebut masih berlokasi di rel kereta api di jalan Jati Bireuen.
Bangunan sekolah itu terbuat dari kayu yang dindingnya dari papan yang ditindih-tindih untuk menutupi celah antara papan, jelek dan sudah tua. Banyak sarang laba-laba yang terajut di jerjak atas bangunan. Sepertinya, bangunan itu adalah bekas gudang yang dialihkan fungsinya menjadi sekolah.
Walaupun demikian, di sekolah itulah saya berubah total. Dari siswa yang tidak suka Matematika menjadi gila menelisik setiap angka di ilmu hitung itu, dari anak nakal yang memusuhi Fisika menjadi rela berjam-jam mengutak-atik rumus ilmu pasti yang sangat kubenci di SMP itu.
Saya sekolah di STM swasta tidak sampai selesai, sampai akhirnya di tahun kedua saya pindah ke SMA Negeri Blangjruen karena tidak sanggup lagi belajar di sekolah itu. Di samping faktor biaya, saya juga tidak nyaman sekolah di situ.
And pasti tahu, Kawan. Sekolah swasta di Aceh kala itu masih dianggap sekolah buangan yang merupakan sarang bagi anak-anak yang gagal menerobos dinding sekolah negeri. Istimewa pula, bangunannya masih pas-pasan, seperti yang terdahulu ceritakannya.
Hati saya tambah kacau ketika ada orang kampungku yang kebetulan mengetahui kondisi sekolah saya itu. "Hai, gimana? Hari ini tidak sekolah di pabrik, ya?" Begitu kata seorang pemuda itu kepada saya sambil tertawa sampai gigi gerahamnya yang sudah bolong itu terlihat dan menjijikkan.
Di Aceh, kalau kita bilang pabrik, itu maksudnya adalah kilang penggilingan padi. Kita menyebutnya pabrik, karena hanya pabrik penggilingan padi yang ada di Aceh. Tidak ada pabrik lain. Memang sekolah yang mengubah hidupku itu bangunannya mirip pabrik padi, tinggi besar dan terbuat dari kayu.
Saya patah semangat, kecewa dan malu sama keluarga juga. Biaya sekolah di STM swasta itu tergolong mahal buat kami waktu itu. Keluarga saya mungkin sampai sekarang tidak mengetahui bangunan sekolah itu. Tapi suatu saat mereka harus tahu sekolah yang paling berjasa dalam hidupku itu.
Sepertinya, saya memang ditakdirkan untuk menderita selama sekolah di Bireuen. Mulai dari dapat teman kos yang sama sekali tidak sekaliber dengan watak saya yang gemulai, sampai mendapat rumah kos yang jelek, dan kayaknya juga gudang yang dikoskan. Teman saya yang carikan kos, aku hanya terima saja.
Walaupun saya anak nakal, sebenarnya saya tidak keras orangnya. Kalau diajak berantam pasti saya kalah. Kenakalan saya adalah sifat olok-olok yang mengakibatkan guru-guru saya menjadi murka, tidak lebih dari itu. Membolos, merokok, nyuri buah di kebun orang, dipastikan itu bukan saya. Oleh karena itu, mendapatkan teman kos yang keras, benar-benar membuatku menderita.
Letak rumah kos di Meunasah Dayah Bireuen di sekitar jembatan "Tutue Meuria." Selama enam bulan saya tinggal di situ, lebih kepada menghabiskan masa sewa saja yang sudah telanjur kubayar. Enam bulan kemudian saya tidak indekos lagi, melainkan pulang pergi Blangjruen-Bireuen setiap harinya. Pengalaman sekolah yang cukup melelahkan seumur hidupku.
Blangjruen - Bireuen jaraknya tak kurang dari 100 kilometer. Saya harus berangkat segera setelah shalat shubuh dengan menebeng mobil carteran angkutan karyawan Mobil Oil. Mobil carteran itu berangkat sehabis shubuh yang bertugas mengambil karyawan dari Lhokseumawe menuju Seurekee. Jadi, ketika berangkat dari Blangjruen mobil itu masih kosong, sehingga dimanfaatkan oleh siswa dan tukang sayur untuk menebeng sampai Lhokseumawe. Sesampai di Lhokseumawe saya kemudian naik bis lagi menuju Bireuen. Begitulah selama enam bulan saya berjuang keras untuk tetap sekolah.
Saya sekolah di STM Rekayasa Bireuen itu genap setahun, saya tidak mengambil rapor terakhir saya karena memang tidak mau melanjutkannya lagi. Tapi saya yakin, saya naik kelas karena nilaiku pasti bagus, aku yakin itu. Itulah kali pertama aku yakin nilaiku bagus di rapor, dan naik kelas. Sesuatu yang tidak pernah terjadi semenjak SD sampai SMP.
Setelah itu saya pindah ke SMA Negeri Blangjruen, tanpa bicara dan minta izin kepada ibu, abang, dan kakak-kakak saya. Bukan karena tidak menghargai mereka, tapi lebih karena aku tak tahan malu.
Di SMA saya masuk ke kelas satu lagi karena katanya tidak bisa pindah dari STM ke SMA. Jalur vokasi dari STM ke jalur umum di SMA. Kurikulumnya berbeda, katanya. Saya menerima saja. Saya duduk saja di kelas satu. Aku tak peduli. Yang penting aku bisa sekolah.
Di hari pertama sekolah. Teman angkatan saya di SMP dulu telah duduk di bangku kelas dua. Bukan main senangnya mereka ketika melihat saya duduk di kelas satu. Berbagai macam cemoohan keluar dari mulut mereka. Ketawanya keluar berderai-derai sambil memegang perut mereka yang sakit karena dikocok tawanya yang menyakitkan hatiku itu.
Aku malu sekali dan sakit hati bukan buatan pada hari itu. Pada saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan belajar mati-matian untuk membuktikan kepada mereka bahwa aku tidak hidup sia-sia di dunia ini.
Hari-hari di minggu pertama berjalan lancar. Aku belajar tak kenal lelah. Pelajaran Matematika yang tak kukuasai pada saat SMP, kali ini aku belajar ulang. Ilmu Matematika dasar yang diajarkan di STM tahun lalu sungguh sangat membantu saya di SMA. Begitu juga Fisika. Susah ternyata ingin menjadi orang pintar. Capeknya setengah mati jika baru sadar pas SMA.
Tapi semua itu saya lalui dengan penuh semangat. Dan aku bisa. Semester pertama saya meraih peringkat satu. Nilai saya paling tinggi seangkatan. Saya ingat betul, yang mengambil rapor pertama saya adalah abang ipar. Dia pulang sambil tersenyum dan menyerahkan rapor itu kepada saya. Mungkin di kepalanya dia masih bertanya-tanya, ”Aneh, tumben si Usman dapat nilai bagus.”
Setelah kulihat rapor pertama itu, aku senangnya bukan main. Dengan bangga buku hasil belajar itu sengaja saya letakkan terbuka di rumah. Memamerkan capaian saya kepada Abang saya. Tak kan kubiarkan dia tak tahu nilaiku. Memproklamirkan diri bahwa aku bisa.
Bagi anak pintar dari awal saya yakin nilai di rapor tak akan ditanggapi sebegitu dramatisnya. Tapi bagi saya, itu adalah capaian yang luar biasa, dari tak pernah mendapat ranking, malah hampir tak naik kelas, menjadi anak yang memperoleh peringkat satu. Fantastis!
Prestasi baik saya terus bertahan sampai akhir masa sekolah di SMA itu. Aku menoreh sejarah manis di SMA. Di SMA, guru-guruku pun sangat mencintaiku sebagai anak yang rajin, sopan, dan pintar.
Berbeda dengan di SMP, saya tidak lebih sebagai biang kerok yang selalu mengacaukan kelas. Guru-guruku di SMP hampir kehabisan akal untuk meredam perilaku saya yang seperti kesetanan itu. Hanya ibu Antikah lah satu-satunya guru yang mampu menggenggam hatiku sampai aku tak berkutik. Sampai sekarang saya masih ingat nasihat-nasihatnya yang membuat aku tertegun dari sifat jelekku.
Anjuran terakhirnya agar aku melanjutkan ke STM, bermakna cukup dalam dan luas bagiku, dan baru kupahami sekarang. Anjurannya yang hanya berupa kalimat "Kamu lanjutkan ke STM saja, Usman." Sekarang baru kutahu ternyata ada makna tambahan yang Tuhan selipkan di kalimat itu menjadi " Usman, kamu lanjutkan saja sekolahmu ke STM. Kamu di sana akan diterpa dengan kekecewaan yang akan mengubah perilakumu." Kira-kira demikian makna yang lebih dari sekadar anjuran biasa.
Ini benar-benar jalan Tuhan yang keluar berupa kata-kata lembut melalui lisan guru saya itu. Saya tidak bisa membayangkan jika saya tidak hijrah ke Bireuen. Dan saya langsung masuk SMA Blangjruen, pasti saya tidak berubah sampai sekarang dan menjadi Biang kerok abadi.
Kini, saya menghormati semua guru-guru saya mulai dari SD sampa S3 di Taiwan. Cuma ketika berjumpa dengan guru SD dan SMP, saya merasa sangat malu. Pernah suatu hari saya mengobrol dengan salah satu guru saya di SMP tentang segala macam hal terkait pendidikan. Sampai pada akhirnya dengan malu-malu saya berucap, “Pak, saya dulu pas SMP nakal, ya?”
Dia menatap ke mataku dan menggelengkan kepala seraya berkata, “Tidak, lah. Kamu tidak nakal, siswa dulu tidak nakal.”
Saya yakin jawabannya itu lebih kepada ungkapan untuk memaafkan segala tingkah saya dulu. Saya percaya, sebagai guru, dia sangat bangga melihat saya sekarang. Tidak jadi biang kerok abadi.
25 November 2015
Untuk Ibu Antikah, Selamat Hari Guru
Dari Muridmu yang nakal
Usman
Kaohsiung, Taiwan
No comments:
Post a Comment