Kesannya, saya seperti si jago makan hari ini. Betapa tidak, makanan yang saya beli di restoran Indonesia di Masjid Kaohsiung untuk makan malam, kelihatannya banyak sekali.
Padahal sebenarnya tidak banyak-banyak amat, hanya tempe goreng, ikan nila goreng, dan nasi putih. Cuma itu saja. Tapi mungkin karena masing-masing dibungkus dalam kontak yang berbeda, dipikirnya aku membeli makanan banyak sekali hari ini.
"Ini apa, Man?" tanya salah satu teman sambil mengisyaratkan ke arah bungkusan yang saya jinjing ketika kami sedang menunggu bus untuk pulang ke kampus setelah salat Jumat di Masjid Kaohsiung tadi siang.
"Biasa, untuk makan malam," jawab saya santai.
"Loh, habis ga itu ? Banyak banget," tanya dia lagi setengah tertawa.
"Ga banyak lo ini," jawab saya dengan nada membela diri, "Ini cuma bungkusannya saja yang banyak, hanya ikan goreng, nasi, dan tempe goreng. Cuma dibungkus terpisah, jadinya seolah banyak banget,” lanjut saya menjelaskan dengan harapan bisa meyakinkannya.
"Lah, ya itu kan banyak, to?" tanya teman saya itu lagi dan kemudian tertawa. Aku juga ikut tertawa.
"O, banyak, ya?" jawab saya sambil garuk-garuk kepala.
Namun, yang namanya Usman itu pasti ada saja kata-kata lain untuk membela diri. "Wah, ini kalau orang Sumatra ga banyak lah makanan segini. Nasi, ikan gorreng, dan tempe itu sebenarnya masih kurang. Seharusnya masih ada lauk lain lagi. Iya, kan?" jelas saya serta memperiyakan kepada teman sebelah saya. Dan, Alhamdulillah diiyakannya. Sehingga percakapan itu pun tenggelam dengan materi-materi lain.
Hari Jumat, saya memang selalu makan siang di restoran Masjid Kaohsiung. Jadi, sebelum naik ke masjid, saya singgah dulu di restoran yang juga berada dalam pekarangan masjid itu. Saya biasanya memesan nasi ikan goreng untuk makan siang, ikannya kadang-kadang nila dan sesekali ada ikan gembung. Tergantung persediaannya.
Warung ini dikelola oleh mbak Aling yang berasal dari pulau Belitong, pulaunya Laskar Pelangi. Tetapi dia sudah lama menjadi warga Taiwan. Walaupun sudah lama di Taiwan, masakannya masih sangat bercitarasa Sumatra Melayu. Lumayan cocok buat saya yang juga berasal dari kawasan yang sama. Bangunan restoran yang dikelolanya ini adalah kepunyaan Masjid Kaohsiung, jadi dia menyewa tempatnya saja.
Saya ingin sedikit bercerita tentang Masjid Kaohsiung, si empunya restoran itu. Masjid Kaohsiung ini tergolong besar dan mempunyai fasilitas yang lengkap. Bahkan, menurut keterangan Pak Zainal Abidin, Masjid Kaohsiung ini lebih besar dari masjid yang ada di Taipei sekalipun, yang ada di ibukota Taiwan itu.
Kalau kita lihat susunan bangunan masjid ini dari atas, bentuknya persis seperti huruf “E” yang membuka ke barat. Batang tengahnya lebih panjang dari yang lain. Yang di tengah itu adalah gedung utama, dan yang lain, sayap selatan dan utara, adalah bangunan yang berisi ruang-ruang penunjang aktivitas masjid.
Masjid ini memiliki tiga lantai, lantai satu didominasi oleh ruang kantor, lantai dua sebagai ruang salat laki-laki, dan lantai tiga untuk tempat salat perempuan. Tempat salat perempuan bagian depannya terbuka dan tembus ke bawah. Sehingga jamaah perempuan bisa melihat gerakan imam dan bahkan juga bisa melihat separuh jamaah laki-laki. Untuk mengakomodasi jamaah lansia, sebuah lift disediakan buat mereka agar mudah sampai ke lantai dua dan tiga.
Tentu tidak hanya sebagai tempat salat, lantai satu, dua, dan tiga juga dilengkapi dengan ruang lain. Di lantai satu ada ruang serbaguna, tepat berada di bawah ruang salat. Ruang ini biasanya digunakan untuk acara tablig akbar, perhelatan pesta perkawinan, dan menerima tamu yang biasanya anak-anak sekolah Taiwan yang mengunjungi masjid untuk keperluan pendidikan budaya.
Selain itu juga ada ruang dapur di sayap utara yang di dalamnya, selain perkakas masak, ada pendingin yang berisi daging halal yang siap dijual kepada konsumen Muslim. Bersebelahan dengan dapur, ke timurnya, ada ruang tidur bilal, tempat wudhu perempuan, dan kemudian disusul oleh ruang belajar agama yang juga berfungsi sebagai ruang azan.
Setelah itu, agak ke selatan, ada ruang administrasi tempat di mana pengurus masjid mengatur seluruh manajemen masjid termasuk bidang bisnisnya. Bila kita ingin menginap di masjid ini, kita melapor ke ruang ini dulu untuk mendapatkan kunci dan mengetahui berapa harga yang harus kita bayar. Pengalaman kemarin, per malam dikenakan biaya 200 NTD (sekitar 80 ribu Rupiah).
Sementara di sayap selatan, diawali oleh ruang presiden masjid yang paling utara, dan disusul ruang imam di sebelah selatannya. Bersebelahan dengan ruang imam, sebelah baratnya, ada kamar mandi dan tempat wudhu untuk laki-laki. Dan ke beratnya lagi disudahi oleh ruang pemandian jenazah.
Jangan lupa, di lantai dua tadi, selain ruang salat laki-laki ada juga ruang-ruang lain. Di antaranya adalah ruang studi Islam. Kemudian di lantai tiga juga, selain ruang salat perempuan juga banyak ruangan lain. Salah satunya adalah ruang tidur yang bisa digunakan untuk menginap di masjid ini.
Kamar tidur itu dibekali dengan dua dipan bertingkat dua. Tapi sayang, ruang ini tidak dibekali pendingin. Sehingga pada saat musim panas, kita harus meminjam kipas yang ada di ruang salat perempuan dan dikembalikan lagi esok paginya. Atau, malah kita harus tidur di ruang salat karena biasanya Kaohsiung begitu gerah pada puncak musim panas.
Masjid yang menjadi kebanggaan umat Muslim Kaohsiung ini kiblatnya benar-benar menghadap ke Barat. Sebagaimana di Indonesia, halaman depan masjid ada di sebelah timur, begitu juga Masjid Kaohsiung yang megah ini. Letaknya yang berada di pinggir jalan Jian Jiun mengakibatkan ia sangat mudah dijangkau baik dengan bus ataupun MRT (kereta bawah tanah).
Halaman depan masjid ini relatif kosong, hanya beberapa pohon cemara yang membatasi jalan menuju ke depan pintu lobi. Di pojok depan sebelah utara ada bangunan yang difungsikan sebagai restoran halal yang disewakan kepada siapa saja yang mau mengelolanya. Kalau sekarang dikelola oleh Mbak Aling itu tadi.
Awalnya restoran ini dikelola oleh Mbak Sari dan Pak Zainal Abidin. Namun, setelah pelelangan ulang beberapa bulan lalu, hak pengelolaannya jatuh kepada Mbak Aling yang sebelumnya juga bekerja di warung ini bersama Mbak Sari. Makanya, walaupun sudah dilelang ulang, saya tetap saja tidak seperti orang asing di restoran ini. Karena semua pengelolanya sudah saya kenal sebelumnya.
Kembali lagi ke masalah makanan tadi. Seperti halnya hari Minggu, dimana saya makan siang di warung halal Zainal Abidin dan juga sekaligus membungkusnya untuk makan malam, begitu juga pada hari Jumat. Saya makan siang sebelum salat Jumat di restoran masjid, kemudian memesan lagi untuk makan malam. Ketika salat Jumat usai baru saya ambil.
Dari kejadian saya hari ini, saya tiba-tiba ingat teman saya yang dari Vietnam, Minh Tai Le namanya. Dia sekarang sudah selesai sekolahnya dan telah pulang ke negaranya.
Ketika masih mengadu nasib di lab NKUAS Taiwan ini. Dia sering masak sendiri di lab. Walaupun potongan badannya terbilang kurus, anak ini ternyata makannya banyak sekali. Malah lebih banyak dari takaran makanan saya.
Suatu hari dia memasak bubur beras. Kalau saya lihat, rupa bubur itu hampir sama seperti bubur kanji di daerah saya, Aceh. Beras direbus dengan santan. Kemudian sayur, daging, dan kayu pewangi sebagai kayu kulit manis di Indonesia, dimasukkannya ke dalam bubur itu dan dimasak dalam rice cooker sambil sesekali diaduknya. Saya pernah mencicipinya ketika dia tidak menggunakan daging babi. Rasanya enak. Benar-benar tak asing buat lidahku yang Sumatra.
Yang lucu adalah, ia memasak bubur dalam jumlah yang banyak dan dimakannya sendirian. Untuk menyantap bubur kesukaannya itu, ia punya mangkuk khusus yang ukurannya sangat besar untuk manusia biasa. Mangkuk bulat itu memiliki jari-jari kira-kira satu setengah jengkal orang dewasa, dan dalamnya kira-kira setengah jengkal, punya orang dewasa juga.
Setelah buburnya matang, kemudian dituangkan ke mangkuk raksasa itu sampai hampir penuh. Biasanya dia menyantapnya sambil memainkan komputer tuanya di lab. Bagi saya mungkin tidak lucu lagi melihatnya makan bubur semangkuk besar itu.
Tapi pada suatu hari, suasana menjadi beda ketika ada teman di lab yang asli Taiwan melihatnya. Dia kaget menyaksikannya sedang menyantap bubur sebanyak itu. Teman Taiwan itu sontak tertawa dan aku juga ikut kesetrum dan tertawa. Tubuhnya bergetar bagai menggigil, tawa kami berderai mengalahkan deru kipas pendingin komputer dan pendingin ruangan lab hari itu.
"Hah! Kamu makan sebanyak itu?" tanya teman Taiwan itu yang begitu susah berucap karena berebut dengan tawanya yang tak terbendung. Aku juga tertawa menggigil di balik komputerku.
"Tidak banyak ini, ini…, isinya banyak air, berasnya cuma sedikit," jawab Minh Tai dan masih disambut tawa oleh teman kami itu.
"Walaupun demikian, segitu itu, tetap banyak sekali kamu makan," jawab teman Taiwan itu. Muka putih khas Tionghoa-nya memerah disebab tawanya yang kuat.
Minh Tai juga tertawa serta menoleh ke arahku. Ia tak berucap apapun untuk membela dirinya lagi. Memang apapun yang kita bilang, walaupun bubur dengan banyak air sekalipun, semangkuk raksasa itu tetap saja tergolong banyak.
Mungkin kondisi itu sama seperti apa yang saya alami hari ini. Ketika membeli makanan tadi siang di restoran Masjid Kaohsiung, mungkin saya tidak merasa bahwa makanan saya itu banyak sekali. Di pikiran saya, menunya cuma tiga, kok. Tempe, ikan nila, dan nasi. Kan, biasa lauk seperti itu?
Tapi saya sadar, ternyata itu banyak ketika saya buka setelah sampai di lab. Ikannya juga besar sekali. Tempe gorengnya ternyata juga banyak untuk satu porsi itu. Nasinya yang diisi dalam kotak terpisah itu juga padat banget, pantas saja berat menjinjingnya tadi.
Memang, ketika makan di restoran Masjid Kaohsiung, awalnya saya selalu minta nasi tambah karena porsi standarnya terlalu sedikit buat saya. Oleh karena itu, setiap saya pesan nasi, Nisa (salah satu pengelola restoran itu) akan memberi nasi porsi jumbo kepada saya. Jadi saya tidak perlu repot-repot lagi untuk meminta nasi tambah. Jadi, Anda tahu sekarang, ya? Kenapa saya begitu gemuk di Taiwan.