Sudah beberapa tahun saya amati, memang jarang orang mau memilih nasi warna cokelat itu. Kira-kira jika ada satu antrean penuh, paling hanya satu atau dua orang saja yang memilihnya. Yang lain memilih nasi putih, sama seperti saya.
Namun, dalam dua bulan ini, saya berencana memecahkan penasaran saya. Saya mulai mencoba nasi yang cokelat tersebut, saya ingin tahu rasanya. Hari itu saya kebetulan makan siang di warung vegetarian di belakang kampus.
Saya mengantre seperti biasa, ada tujuh orang di depan saya. Sekitar sepuluh menit maka sampailah pada giliran saya. Biasanya saya hanya memilih sayur mayur saja dan nasi putih secara standar akan dipilih oleh pelayan bagi pelanggan yang tidak meminta nasi cokelat. Tetapi kali ini beda, saya juga ingin memilih jenis nasi, dan saya memilih nasi cokelat. Karena di luar kebiasaan, maka saya harus sedikit memberi instruksi untuk meminta nasi yang cokelat.
“Saya mau nasi yang itu,” pintaku dengan bahasa Mandarin sambil menunjuk ke wadah nasi yang kutahu berisi beras cokelat. Ukuran wadah nasi itu lebih kecil dari nasi putih. Memang sepertinya mereka tidak banyak memasak nasi cokelat karena peminatnya juga tidak terlalu banyak.
“Coani fan ma?” tanya pelayan toko sambil memegang wadah nasi yang saya maksud.
“Iya, saya mau yang itu,” jawab saya, yang sebenarnya saya belum tahu nama Mandarin dari nasi cokelat. Telinga saya menangkap bahwa pelayan mengucapkan “caoni fan.” Saya mengiyakan saja tanpa banyak cingcong.
Setelah pelayan mengisi nasi ke dalam piring, saatnya untukku memilih jenis sayur sebagai lauknya. Saya memilihnya dengan cara menunjuk saja kemudian pelayan mengambilnya dan meletakkannya ke piring nasi. Setelah itu, sekarang saatnya membayar. Ternyata harganya sama, hanya 50 NTD (sekitar 20 ribu rupiah).
Beruntung bagi saya, ketika mau membayar, di situ saya diajarkan bagaimana cara mengucapkan nama nasi cokelat dalam bahasa Mandarin dengan baik dan benar. Dia mengulang-ulang kata itu pelan-pelan dan saya meniru setelahnya.
“Ceke Caoni fan,” kata dia dan begitu yang saya dengar darinya. Kemudian saya mengulang seperti yang saya dengar itu.
“Cao... ni… fan,” ucap saya penuh percaya diri. Mendengar ucapan saya itu, semua pelayan tertawa sejadi-jadinya. Saya baru tahu ternyata saya salah.
Sambil dirundung mabuk oleh tawanya, pelayan berucap lagi,” Cao… mi... fan.” Nah, itu baru jelas aku dengar. Ternyata yang benar adalah “caomifan.” Kosakata baru hari ini tentunya. Wajarlah mereka tertawa, “caonifan” itu artinya bisa “menggoreng kamu nasi.” Memang saya pikir tadi nasi yang sudah digoreng. Tetapi bukan, saya salah dengar.
Setelah adegan pembayaran dan gelak tawa itu usai, saya mengambil piring yang penuh berisi itu ke meja dan mencicipi caomifan perdana saya. Suapan pertama, bau dan rasanya tentu aneh di hidung dan lidahku. Baunya seperti nasi mau basi. Kemudian saat dikunyah rasanya seperti ada serbuk sekam padi. Namun, untuk suapan selanjutnya, rasanya sudah mulai menyatu dengan lidah saya dan mulai merasakan enaknya.
Naluriku mulai beraksi, seolah membisikiku bahwa nasi ini sepertinya lebih sehat dibandingkan nasi putih. Tetapi ini instingku saja, belum tentu benar. Mulai hari itu, saya selalu makan caomifan, tidak lagi makan nasi putih.
Pada suatu malam, ketika sedang berada di lab, saya melihat teman saya yang biasa saya minta tolong dalam hal bahasa Mandarin, lagi tidak sedang sibuk. Berarti inilah saatnya untuk menyerangnya dengan pertanyaan tentang caomifan. Saya mendekat dan memanggil namanya.
“Sheng Ping, kamu tahu kan kalau saya selalu makan nasi di warung vegetarian?” tanya saya dengan bahasa Inggris yang pelan dan teratur agar dia paham.
“Ya, saya tahu,” jawabnya
“Saya melihat di warung vegetarian itu mereka menyiapkan dua jenis nasi, yang warna cokelat dan putih. Apa sih perbedaan kedua nasi itu,” tanya saya lagi. Tatabahasa Inggris saya terjaga betul di Taiwan ini.
“O, bedanya… Kalau yang cokelat itu lebih baik buat kesehatan. Tetapi… dia agak sedikit mahal dari beras putih. Namun, cuma sedikit mahalnya, paling 2 NTD lebih mahal dari nasi putih,” tutur anak muda yang asli Taiwan itu.
Dia juga mengatakan bahwa beras itu diperoleh dengan cara tidak terlalu mengisar padi. Sehingga hanya sekamnya saja yang terbuang. Sedangkan kulit ari tidak terkelupas. Jadi, kulit ari itulah yang memberi warna cokelat pada beras.
Bukan hanya sampai di situ, dia juga mengajarkanku cara menulis karakter Mandarin untuk beras cokelat. Yaitu 糙米飯, yang dalam huruf latin ditulis dengan “Cāomǐ fàn.” Jangan lupa, Kawan. Tanda yang ada di atas huruf-huruf itu adalah irama yang harus kita ikuti dalam bahasa Mandarin.
Tanda “-” menandakan dia harus diucapkan dengan nada tinggi datar. Tanda “v” mengharuskan kita mengucapkan huruf dengan nada rendah. Sedangkan tanda “\” mengisyaratkan bahwa kita harus menyentak suara seperti marah. Peraturan inilah yang benar-benar membuat saya gila dalam belajar bahasa Mandarin. Pusing!
Saya paham sekarang, ternyata beras cokelat adalah beras yang masih berkulit ari. Kalau soal ini, sejak SD aku sudah tahu bahwa kulit ari beras sangat baik buat kesehatan. Tetapi sayang, sejak adanya kilang penggilingan padi, penggilingan tradisional dengan menggunakan alu dan lesung tidak digunakan lagi. Dengan penggilingan mesin, semua kulit ari dilepaskan dari beras.
Memang, beras akan terlihat bersih. Tetapi vitamin yang tersimpan pada kulit ari yang seharusnya kita makan, malah kita buang atau menjadi dedak dan dimakan bebek. Penggilingan tradisional tidak akan sampai mencopot kulit ari beras, makanya orang dulu sehat-sehat karena memakan beras yang sehat.
Walaupun demikian, dengan kilang padi modern pun, kalau mau, sebenarnya kita bisa mengatur agar kulit ari beras tidak sampai terkelupas. Yaitu dengan cara tidak terlalu memolesnya. Cukup hanya dengan membersihkan sekamnya saja. Saya yakin, yang bekerja di penggilingan padi tahu betul tentang ini. Mereka bisa menyelamatkan kulit ari padi jika kita mau.
Nasi cokelat di warung vegetarian Taiwan |
No comments:
Post a Comment