Bagi saya, menjadi Muslim di Taiwan sebagai kaum minoritas justru mengasyikkan. Dari berjibaku dengan kegelisahan akan makanan mengandung babi, sampai harus wudhu di wastafel sembari melihat kiri-kanan, begitu sepi langsung angkat kaki dan mencucinya di tempat basuh tangan itu. Semua ini betul-betul menyenangkan. Bukan justru malah sedih atau malah mengeluh.
Sebuah kebanggaan bagiku ketika bisa salat di laboratorium kemudian teman yang baru melihatku bisik-berbisik sesama mereka. Setelah beberapa hari kemudian setelah kami akrab baru mereka bertanya tentang apa yang saya lakukan setiap hari di lab.
Mereka melihat gerakanku yang membungkuk dengan tangan kutekan di lutut sehingga punggung dan kepala menjadi sama rata. Begitu juga ada gerakan berlutut dengan cara kuletakkan dahi di lantai yang berlapis hamparan kain unik. Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa yang sedang diperbuat oleh orang asing ini.
Kebingungan mereka juga pada arah salatku itu yang selalu menghadap ke arah yang sama setiap hari. Sampai-sampai mereka tak tahan dan harus bertanya kepadaku. Awalnya aku berpikir pertanyaan mereka hanya sepenggal kalimat tanya yang biasa aku dengar: “Apa yang sedang kau lakukan, Usman?” Tapi pertanyaan mereka justru lebih canggih dari yang kubayangkan. Mereka malah bertanya tentang arah kiblat.
“Hai! Usman. Kamu jika berdoa selalu menghadap ke Barat, ya?” tanya salah satu teman baruku di lab siang ini. Sebelum bertanya ia bercanda dulu dengan saya untuk mencairkan suasana.
“Kalau itu pertanyaannya, maka saya harus menjawab secara umum, agar berlaku umum juga,” aku membatin sendiri.
“Kalau di Taiwan, iya. Saya menghadap ke Barat,” Jawab saya singkat.
Sebenarnya arah kiblat di Taiwan tidak ke arah Barat betul, tetapi dari titik Barat agak menceng ke kanan sedikit sebesar 17 derajat. Jika kita ambil patokan jam, dan angka 12 adalah titik Barat, maka arah kiblat Taiwan adalah arah pukul 12.30. Kira-kira seperti itu perkiraan kasarnya. Tentu saya tidak akan menjawab selengkap itu. Aku ingin percakapan kami ringan saja.
“Tapi kalau saya salat di Amerika, maka saya harus menghadap ke Timur,” lanjut saya. Salah satu teman langsung mengerti hal itu.
“O, ya! Aku paham. Itu artinya kamu menghadap ke arah sebuah titik pusat,” jawab lelaki muda berkacamata, bermata sipit, berkulit putih bersih, dan ganteng itu.
Saya sering memanggilnya dan teman-teman Taiwan lain dengan sebutan “帥哥” yang artinya “pemuda ganteng.” Dalam cara latin ditulis dengan “shuàigē”, cara Indonesia kita baca “shuaike”. Jangan lupa, suku kata pertama diucapkan dengan nada menyentak dan yang kedua dengan nada tinggi datar.
Panggilan itu tiba-tiba menjadi begitu populer in antara kami di lab CAE. Bahkan, dalam beberapa hari ini, aku juga dipanggil dengan sebutan shuaike oleh mereka. Hatiku berbunga-bunga, karena sebenarnya aku juga ganteng, sih. Tapi tak tahu mengapa. Orang begitu berat mengakui kenyataan itu.
“Benar sekali!” jawabku dengan penuh kekaguman, “Cerdas anak ini,” gumamku dalam hati.
“Aku menghadap ke arah sebuah bangunan di Arab Saudi, di Timur Tengah,” lanjutku menjelaskan lebih detail.
“Tapi… bagaimana kalau kamu sedang di dalam pesawat?,” tanya teman yang satu lagi, yang juga ganteng.
“Nah, pada kondisi itu kami dibolehkan salat menghadap ke mana saja,” jawab saya.
“Terus, waktu doa bagaimana? kapan saja?” tanyanya lagi.
“Waktunya sudah tertentu setiap harinya, dan sudah ada perangkat lunak yang bisa dipasang di hape dan akan memberikan alarm ketika waktu salat tiba,” jawab saya sambil mengangkat hape pintar saya untuk mengisyaratkan bahwa hape saya ini sudah terpasang perangkat lunak tersebut.
“Terus, jika kamu sedang makan, terus alarm doa berbunyi, kamu harus berhenti makan?” dia bertanya lagi seraya mengernyit dahi seolah dia sedang berpikir betapa beratnya agamamu, Kawan.
“O, tentu tidak. Alarm itu adalah awal waktu untuk salat, dan saya bisa salat sepanjang belum masuk waktu salat selanjutnya,” jawab saya. “O, begitu…” dia manggut-manggut dan percakapan pun usai serta membahas masalah lain.
Begitulah kondisi menjadi Muslim di Taiwan. Mereka akan melihat kita aneh karena banyak dari mereka tidak tahu sama sekali tentang Islam. Atau, bahkan banyak anak-anak di sini tidak mengenal agama apapun. Kalau kita bertanya apa agama mereka, mereka sering menjawab tidak beragama. Kalau ditelisik lebih dalam lagi, paling-paling mereka menjawabnya: “Dulu sih, nenek saya menjalankan agama. Tapi saya tidak pernah melakukannya.” Seperti itulah jawaban yang sering aku dengar.
Agama bukan hal penting bagi orang Taiwan. Paling tidak, bagi teman-teman yang saya kenal. Namun, ketika mereka melihat aku sedang beribadah, mereka begitu menghormatinya. Dan, sepanjang pengalaman saya, tidak ada istilah islamofobia di Taiwan. Setiap hari aku salat di lab, mereka cuek saja. Paling kalau penasaran, mereka bertanya saja seperti yang telah kukisahkan ceritanya itu.