Sunday, December 13, 2015

Teman Saya Seperti Babi. Sebuah Cerita Tentang Kejutan Budaya Di Taiwan

Hari ini aku benar-benar kaget. Betapa tidak, salah satu teman saya di lab ngomong kalau temannya kayak babi karena badannya yang terlalu gemuk. Duh, kalau di Aceh mengeluarkan kata-kata seperti itu, walaupun bercanda, pasti akan berakhir dengan kemarahan. Atau malah bisa berkelahi.

Tadi siang, seluruh lampu ruangan di jurusan teknik mesin NKUAS diganti. Dari lampu neon yang berdiameter besar menjadi kecil seukuran jempol orang dewasa. Sedangkan panjangnya sama seperti neon sebelumnya.

Kata teman saya, lampu neon tua itu diganti karena cahayanya tidak baik untuk mata. Dan, lampu neon besar panjang itu tidak irit energi juga, sehingga lampu tersebut semua diganti walaupun masih bagus.

Nah, kebetulan lampu di loteng di atas meja belajar saya adalah salah satu lampu neon besar dan harus diganti. Oleh karena itu, saya harus pindah sebentar ke bangku belajar di deretan yang dihuni oleh teman-teman Taiwan.

Saya duduk di samping seorang perempuan muda, badannya gemuk. Namun, dia bukan anggota lab kami. Dia ke sini hanya ingin bertemu temannya, Sheng Ping, untuk bercengkerama saja. Mereka sedang mengobrol dan sesekali diselingi tertawa lirih ketika saya datang ke tempat duduk di dekat mereka itu.

“Sheng Ping, aku duduk di sini sebentar, ya?” saya minta izin pada temanku itu.

“O, boleh,” jawabnya sambil meminta teman perempuannya itu berganti tempat duduk dengannya agar aku tidak bersebelahan dengan wanita muda itu.

“Saya pindah ke sini sebentar, karena lampu di atas mejaku mau diganti,” imbuh saya.

“Ya, tak apa-apa,” sahutnya dengan penuh senyuman.

Kemudian dengan nada bercanda dia bilang kepadaku sambil wajahnya mengisyaratkan ke arah teman perempuannya itu, ”Usman, kamu lihat ga? Teman saya ini kayak babi ga menurut kamu?”

Duh. Sontak saya kaget. Saya takutnya begini: saya telah berbuat sesuatu yang tidak baik kepada mereka sehingga dia bertanya seperti itu kepada saya. Kan, sering kalau di Indonesia ketika seseorang marah atas perlakuan orang lain terhadapnya dan terus bertanya dengan sindiran keras: “Heh! kamu pikir aku ini babi, ya?”

Saya takut konteksnya seperti itu. Karena teman saya itu bahasa Inggrisnya juga tidak begitu bagus. Sehingga ada kemungkinan terjadi salah paham dalam berkomunikasi. Dengan penuh ketakutan saya langsung mengklarifikasi pertanyaannya itu.

“Hah! Babi?” tanya saya kaget, “Maksudmu?” imbuh saya lagi dengan mimik sangat serius. Anda pasti tahu, saya ini sering lebay jika sedang cemas.

Bukannya menjelaskan, teman saya itu malah tertawa dan membuat saya bingung.

“Kamu lihat, kan? Dia gemuk sekali, kayak babi,” tukasnya dan juga disambut tawa teman lain di sebelahnya. Cewek yang menjadi bahan candaannya itu juga tertawa sambil membantah guyonan temannya yang jahil itu.

Nah, itu baru saya lega. Ternyata mereka benar-benar bercanda. Dan bercanda dengan menggunakan kata “babi” di Taiwan adalah hal biasa. Mungkin sama seperti candaan kita dengan menyamakan teman dengan ayam potong ketika mengejeknya karena kegemukan.

Misalnya begini: Di Aceh kami sering bercanda dengan teman yang gemuk: “Wah, kamu makan apa saja, ya? Badanmu sudah kayak ayam potong.” Teman-teman saya sendiri sering bercanda seperti itu dengan saya ketika melihat saya kegemukan.

Namun, jangan coba-coba bercanda seperti ini misalnya: “Wah, badanmu sudah kayak babi. Kurangilah makan, Kawan.” Kalau di Aceh, acara lucu-lucuan akan gagal total dan diganti dengan sumpah serapah jika bercanda seperti ini. Dijamin.

Budaya itulah yang membuat saya terkejut hari ini. Saya baru sadar kemudian, bahwa saya sedang berada di Taiwan, bukan di Aceh. Di Taiwan, babi bukan binatang yang tercela. Di sini babi adalah binatang utama yang dagingnya dikonsumsi hampir setiap hari. Jadi, bercanda dengan menyamakan bentuk tubuh teman dengan seekor babi, di sini biasa saja. Bisa untuk bahan lucu-lucuan yang renyah.

Setelah sempat terdiam beberapa saat, kemudian saya bilang ke teman saya yang bercanda tadi, bahwa saya kaget sekali dengan candaannya itu. Bercanda seperti itu berbahaya kalau di Indonesia, karena di sana kita tidak memakan daging babi, dan bercanda dengan menggunakan kata itu dapat membuat teman menjadi sangat tersinggung dan marah

“Sheng Ping, kamu tahu ga? Aku tadi kaget sekali loh, ketika kamu bercanda seperti itu,” kataku dengan bahasa Inggris yang teratur dan pelan, seperti biasa.

“Di Indonesia kita tidak terbiasa menggunakan kata babi untuk bercanda dengan teman,” imbuh saya lagi.

“Makanya saya tadi terperanjat. Namun, saya baru sadar bahwa saya sedang di Taiwan. Budaya kita berbeda,” ujar saya sambil tertawa dan semua juga tertawa, termasuk cewek yang gemuk itu.

Begitulah ceritanya. Bagi saya, ini adalah salah satu “kejutan budaya”. Atau, dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan “cultural shock”, sebuah kekagetan ketika kita tinggal di sebuah daerah dengan budaya yang berbeda.

Jadi, sekarang saya dan Anda tahu, kan? Jika sedang berada di Taiwan dan sudah punya teman akrab, kemudian dia bilang: “Hei, kamu sudah kayak babi sekarang.” Itu tidak perlu tersinggung, apalagi marah. Karena babi bagi orang Taiwan sepadan mulianya dengan ayam potong di Indonesia. Begitu.

Walaupun demikian, kita lebih baik jangan bercanda juga seperti itu dengan orang Taiwan. Biarkan mereka saja yang bercanda demikian. Karena kalau sudah menjadi kebiasaan, akan terbawa ke Indonesia, dan itu berbahaya.

Seperti saya misalnya. Saya sangat menghindar untuk melambaikan tangan kiri ketika menyapa teman di Taiwan. Walaupun mereka menyapa saya dengan lambaian tangan kiri, saya tetap pakai tangan kanan. Saya takut, reflek lambaian tangan kiri saya terbawa ke Aceh. Di Aceh, menyapa orang dengan tangan kiri adalah sangat tidak sopan. Itu yang saya hindari. Apalagi dengan Kiai saya, ampun kalau sempat terjadi seperti itu.

No comments:

Post a Comment