Monday, December 28, 2015

Jarum Suntik Tetap Menakutkan. Pengalaman Pertama Cek Kesehatan Di Taiwan

Hari ini, sesuai instruksi yang disampaikan oleh kantor urusan internasional NKUAS, kami mahasiswa internasional diwajibkan melakukan cek kesehatan di kantor pusat yang berada di lantai enam.

Selama dua tahun kuliah di NKUAS, baru kali ini saya harus melakukan tes kesehatan. Ini berarti pihak kampus tidak mewajibkan tes kesehatan setiap tahun. Dulu saya pernah cek kesehatan saat membuat visa Taiwan di Jakarta dan hari ini baru saya lakukan lagi.

Langkah pertama yang harus saya lakukan sebelum menjalani tes adalah mengisi borang yang berisi kolom identitas diri, riwayat dan keluhan kesehatan. Saya tidak mempunyai riwayat sakit apapun, kecuali kudisan saat kecil dulu. Tatapi penyakit itu tidak ada dalam lis borang.

Satu yang menarik yang mungkin tidak akan pernah ada mahasiswa lain yang mau mengakuinya, yaitu pengakuan sering cemas dan depresi. Pertanyaan di borang itu kira-kira: “Apakah Anda merasa cemas dan tertekan (depressed)?” Saya jawab “sering.” Saya rasa ini penyakit mahasiswa pada umumnya, cuma saya mungkin lebih parah saja.

Setelah mengisi borang tersebut, acara berlanjut ke langkah pengukuran tinggi dan berat badan. Alat pengakuran tinggi dan berat badan saya rasa canggih juga. Tinggi dan berat badan terekam secara digital. Petugas meminta saya berdiri di atas timbangan, kemudian ragum pengukur ketinggian turun perlahan-lahan sampai menyentuh bagian teratas kepala dan naik lagi secara otomatis. Hasilnya langsung bisa saya lihat di layar digital yang berada di depan operator.

Selanjutnya adalah pengecekan urine. Petugas timbangan itu memberikan saya sebuah tabung plastik seukuran jari telunjuk. Bentuknya runjung ke bawah serta berpenutup warna merah. Untuk menampung urine sebelum menuangkannya ke tabung, petugas lain membekali saya dengan satu gelas plastik. Saya langsung masuk ke toilet dan berurine ke gelas itu kemudian menuangkannya ke tabung urine tadi.

Saya rasa ini tidak pernah terjadi di Indonesia, di Indonesia tidak pernah ada persediaan gelas seperti itu. Biasanya kita hanya mendapatkan wadah urine dan kita harus berusaha untuk pipis ke tabung yang lubangnya kecil itu. Sehingga kadang tumpah ke mana-mana. Begitu pengalaman beberapa kali cek urine di Aceh. Tangan saya kadang-kadang belepotan dengan urine. Itu belum lagi perempuan, pasti lebih sulit lagi.

Setelah urineku yang berwarna kuning itu kuserahkan ke petugas, kemudian mereka mengarahkan saya untuk melakukan foto rontgen dada. Mesin foto rontgen dada ini ada di bawah, di luar gedung. Awalnya saya pikir alat rontgen ada di dalam kantor. Ternyata bukan. Alat foto itu ada di dalam mobil khusus seperti ambulans yang diparkir di sebelah Barat gedung utama. Ternyata di Taiwan ada mobil rontgen yang bisa dibawa kemana-mana. Tak salah jika Taiwan dijuluki negara dengan pelayanan kesehatan terbaik di dunia.

Setelah selesai itu kemudian saya naik lagi ke lantai 6. Sekarang mereka mengajakku untuk pengecekan tekanan darah dan mata. Mata saya normal sekali, cuma tekanan darah saya yang terbilang lumayan tinggi, 150/86 mmHg. Itu tinggi sekali menurut saya. Tetapi kata petugas, mungkin itu karena aku baru selesai naik tangga.

Alat pengecekan mata di sini menurut saya juga unik. Alatnya seperti mikroskop tetapi lensanya ada dua seperti binokuler. Saya harus menatap ke lubang itu. Di dalamnya saya melihat ada beberapa buah bangun seperti huruf “E” yang posisinya ada yang telungkup, terbuka ke samping, ke kiri, dan ke atas. Dari ukuran yang sangat kecil sampai yang besar. Bangun-bangun itu diidentifikasikan dengan angka-angka.

Di samping alat cek mata ini ada selembar kertas yang juga menampilkan variasi bangun yang ada dalam mesin tes mata. Untuk mengetahui kualitas mata saya, operator mengajukan pertanyaan. Dengan menyebut nomor identitas bangun yang ada dalam alat.

“Nomor 3 bagaimana bangunnya?” tanya operator. Saya menjawabnya dengan hanya menunjukkan bangun yang ada pada kertas itu sesuai dengan yang aku lihat di mesin. Semua pertanyaan saya jawab dengan benar. Sehingga mereka bilang bahwa mata saya masih bagus.

Di awal tahap pengujian tadi, karena saya berkacamata, saya melepaskannya. Tetapi mereka menganjurkan agar saya tetap memakai kacamata. Saya bilang bahwa ini kacamata normal. “Ini hanya kacamata anti radiasi,” sahut saya sambil meletakkan kacamata di atas meja operator.

Selanjutnya adalah pengecekan telinga. Pada tahap ini saya sempat cemas. Saya takut telinga saya bermasalah karena di sini saya selalu menggunakan corong dengar untuk mendengar musik. Tetapi tunggu dulu, mereka belum menilik telinga. Ada dua petugas pada pengujian kepekaan telinga.

Pertama mereka meminta saya untuk merentangkan tangan, kemudian mengukur lingkar pinggang dengan pita ukur tukang jahit. Pasti besar sekali perut saya sekarang. Selanjutnya mereka meminta saya membelakanginya. Kemudian salah satu petugas mengetok garpu tala ke tangannya kemudian mendekatkannya ke telinga saya.

Dia bilang kalau saya mendengar suara, maka saya harus mengangkat tangan. Dia mengetuk garpu tala itu, suara getaran frekuensi rendah tertangkap oleh telinga saya, kemudian saya mengangkat tangan. Dia juga memindahkan garpu tala dari kanan ke kiri dan sebaliknya, kemudian dia menanyakan posisi sumber suara kepadaku, di kiri atau di kanan? Saya menjawabnya dengan benar pertanyaan itu. Maka telinga saya masih bagus, katanya.

Setelah itu salah satu petugas mengajak saya menuju ke ruang dokter. Saya masuk ke sebuah ruang kecil. Di situ sudah ada dokter yang sudah sangat senior dan berjenggot. Dia mengalungkan stetoskop di lehernya, sebagaimana gaya khas setiap dokter di seluruh dunia. Tak tahu mengapa, saya menduga dia adalah seorang Muslim. Mungkin ini karena janggutnya. Tetapi aku tidak ingin menanyakan itu. Dia langsung menjalankan tugasnya untuk mewawancarai saya, melihat lubang telinga, dan memeriksa dada saya dengan stetoskop andalannya itu.

“Ada keluhan apa saja?” tanya dokter itu

“Tidak ada,” jawab saya

“Sering begadang malam?” tanyanya lagi

“Kalau itu pasti, Dok. Tetapi lama waktu tidur, saya pastikan cukup. Rata-rata tujuh jam per hari,” jawabku sambil sedikit tertawa lirih. Dokter itu juga tertawa walaupun mulutnya tersembunyi dibalik masker.

“Sudah pernah menjalani operasi?” dia bertanya lagi

“Tidak pernah, Dok. Cuma di sini mungkin keluhan saya adalah stres. Dan saya rasa wajarlah sebagai mahasiswa. Ya kan, Dok?” Saya menjawab serta menanyakan balik. Dia hanya tersenyum dan manggut-manggut.

Setelah mendengar suara dada saya dengan stetoskop dan melihat ke lubang telinga dengan alat senter khusus yang bentuknya seperti palu kecil itu, dia bilang bahwa sementara ini saya baik-baik saja.

Setelah itu saya pamit dan keluar. Di luar ruangan seorang petugas sudah menunggu saya dan dia mengajak saya ke pengambilan darah setelah itu. Nah, ini yang paling aku benci. Aku takut jarum suntik, Kawan. Tetapi saya harus menjalaninya.

Petugas yang duduk di meja yang penuh alat suntik itu, mempersilakan saya duduk. Petugas mengambil tangan kanan saya dan merentangkannya di atas meja. Siku saya diganjal dengan bantal kecil seukuran batu bata yang berlapis plastik seperti jok mobil. Sebuah karet seperti pentil ban sepeda direntangkan di atas bantal itu dan diikat dengan karet gelang agar pentil itu tidak lari ke mana-mana dari atas bantal. Dengan karet pentil itu, dia mengikat pangkal lengan dekat siku saya.

“Aduh!” aku berteriak. Ibu yang bertugas di situ terkejut dan bilang: “Belum disuntik, lho. Kok Aduh!”

“Bukan karena itu. Kamu ikat tanganku dengan pentil ini dan kulit tanganku terjepit di antara pentil dan karet gelang ini,” jawabku sambil mengusap-usap tangan saya yang sakit.

“O, maaf,” jawab petugas itu sambil tertawa. Aku juga tertawa sambil menatap ke arah petugas-petugas lain yang juga berada dalam satu ruangan.

Setelah dia mengikat tangan saya, kemudian dia menganjurkan saya untuk mengepal laksana mau bertinju. Mungkin ini agar pembuluh darahku menonjol dan mendesak kulit sehingga mudah baginya untuk menembus kulitku dengan jarum celaka ini.

Sekelebat dia telah berhasil menyuntik saya. Aku tidak mau melihatnya. Badan saya menggelinjang ketika kurasa jarum menembus kulitku.

Sebelum giliran saya, tadi saya melihat teman Vietnam ketika menjalani pengambilan darah ini. Pertama, petugas memasukkan jarum terlebih dulu ke pembuluh darah. Jarumnya lumayan besar serta di pangkalnya ada sebuah mangkuk berbentuk silinder terbuka sebagai tempat menempatkan pipet penampung darah dan sedotan. Jadi, sakitnya dua kali: ketika menyuntik dan saat petugas memasang pipet ke pangkal jarum yang sudah menancap di tubuh, dan tergoyang-goyang karenanya.

Aku melihat ke arah lain ketika mereka beraksi pada tanganku sambil berucap: “Aku paling tidak suka ini.” Dahiku mengernyit. Seorang petugas lain menyahutnya: “Semua tidak suka itu. Tetapi harus.” Kami pun tertawa riang walau ngeri.

Setelah momen menakutkan itu, maka selesailah rentetan cek kesehatan hari ini. Pengelaman pertama cek kesehatan di Taiwan. Kampus kami bekerja sama dengan rumah sakit setempat untuk melakukan hal ini. Mereka memungut biaya sebesar 420 NTD atau sekitar 200 ribu Rupiah. Lumayan murah.

Saya menyerahkan kertas borang yang tadi saya isi di awal pendaftaran. Kertas borang itu tadi saya bawa terus ke setiap tahap pengecekan. Dan semua petugas mengecapnya pada kolom tugasnya masing-masing. Setelah petugas menyatakan sudah lengkap, maka saya boleh pulang. Tugas saya selesai. Tinggal menunggu hasil.

O, saya hampir lupa. Sebelum pengecekan ini, pihak kantor internasional mewanti-wanti agar kami tidak makan apapun selama enam jam sebelum pengecekan. Bagi saya tidak ada kendala soal ini, karena hari ini adalah hari Senin. Saya memang sedang berpuasa.

Mobil foto rontgen

No comments:

Post a Comment