Wednesday, December 16, 2015

Terserempet Daging Babi. Sebuah Kisah Di Warung Makan Taiwan

Di depan kampus saya, NKUAS, sekarang sudah ada satu lagi warung makan dengan aneka masakan sayur sebagai menu utamanya. Warung ini bukan warung vegetarian yang hanya menyediakan masakan dari unsur nabati. Lebih dari itu, mereka juga menyediakan masakan daging yang tak kuketahui daging apa saja.

Sudah tiga kali saya membeli nasi di warung ini, saya biasanya memilih tiga jenis sayur dan ikan panggang sebagai lauknya. Karena pelanggan baru dan belum dikenal, saya harus bilang ke pelayan bahwa saya tidak boleh makan babi.

“Ibu, saya tidak boleh makan daging babi. Sayur ini mengandung babi tidak?” tanya saya sambil menunjuk ke arah sayur yang saya pilih. Walaupun dengan bahasa Mandarin yang hancur, tetapi dia paham betul apa yang saya maksud.

“Tidak! Tidak!” jawab wanita itu dengan nada keras. Jangan takut, pelayan-pelayan warung makan di Taiwan suaranya cenderung keras, tatapi bukan marah. Memang seperti itu kebiasaan sebagian mereka.

Sayur yang saya pilih itu diletakkan ke atas nasi yang sudah ada di dalam wadah plastik seperti piring, namun ini bentuknya agak dalam. Wadah ini hanya digunakan sekali pakai kemudian dibuang.

Setelah itu nasi dioper ke pelayan lain yang bertugas menambah lauk di etalase selanjutnya. Dalam etalase kedua itu ada berbagai macam daging. Yang saya kenal adalah daging ayam dan ikan. Saya pilih ikan. Daging yang wujudnya seperti daging sapi itu sepertinya daging babi, karena jarang ada daging sapi di Taiwan. Mata saya tidak mau lama-lama menatap daging itu. Geli.

Itu kali pertama saya makan nasi di warung baru tersebut. Rasa sayurnya biasa saja. Cuma karena saya suka ikan, maka rasanya sangat tertolong oleh rasa ikan yang sepertinya memang bukan digoreng, tetapi dipanggang dengan microwave serta diolesi minyak.

Beberapa hari selanjutnya saya membeli lagi di situ, itu kali kedua. Kali ketiga adalah malam ini. Malam ini yang berdiri di etalase sayur adalah pelayan yang berbeda, sedangkan pelayan biasa pindah sebagai tukang isi nasi ke piring. Karena pelayan beda, maka saya bilang lagi bahwa saya tidak makan babi.

“Ok, kamu tidak makan babi. Saya tahu! Saya tahu!” jawabnya dengan nada lantang dan cepat.

“Saya mau sayur ini,” ujar saya sambil menunjuk ke arah sayur biji jagung muda yang telah ditanggalkan dari tongkolnya.

Di antara bebijian jagung itu, saya melihat ada potongan-potongan segiempat merah seukuran ujung jari kelingking anak kecil. Saya penasaran terhadap benda itu. “jangan-jangan itu daging babi,” pikirku.

“Yang merah ini apa ya, Bu?” tanya saya

“O, ini daging babi,” jawab wanita itu sambil mengambil daging babi itu dari atas nasi dengan penjepit serta mengembalikannya ke tempat semula.

Duh, ternyata dalam sayur-sayur itu juga dimasukkan daging babi. Setelah tahu itu, saya sudah tidak mau memakan nasi itu lagi. Walaupun demikian, saya tetap menuntaskan transaksi saya untuk membeli nasi itu.

“Sayur mana lagi?” tanya perempuan itu lagi. Saya pun menunjuk saja sembarang karena memang tidak mau memakannya lagi. Saya melihat dia mengambil sayur itu dan menaruhnya ke piring nasi. Setelah itu dia mengais-ngais sayur dengan penjepit dan mengambil potongan-potongan daging babi dan mengembalikannya ke tempat semula.

“Ini, daging babinya sudah saya pindah,” kata pelayan itu dengan nada bangga karena merasa sudah melayani saya dengan baik malam ini.

“Mantaplah,” kataku dalam hati seraya melemparkan senyuman kecut dengan dahi mengernyit ke arahnya.

Setelah itu saya menuju ke pelayan selanjutnya, mengikuti arah gerakan nasi saya yang malang itu. Saya tetap memilih ikan bakar, seperti biasa. Setelah itu membayarnya.

“75 NTD,” pekik pelayan yang terlihat begitu sibuk itu.

Saya pun mengeluarkan uang dan membayarnya. Setelah itu saya keluar warung. Perutku masih kosong. Lapar melilit ususku. Pagi tadi sekitar pukul 10 saya makan martabak dan shushi vegetarian di belakang kampus. Untuk siang masih tahan. Tetapi kalau untuk malam perut sudah begitu lapar.

Dalam sekejap saya pun berkesimpulan untuk pergi ke warung vegetarian biasa, tempat saya makan sehari-hari. Saya pun melangkah ke sana. Letaknya sebenarnya tidak begitu jauh. Namun, dalam kondisi lapar, jarak segitu sudah begitu menyakitkan. Apalagi baru saja dihantam kekecewaan karena kehilangan duit sebesar 75 NTD.

Dengan agak lemas saya melangkah ke warung “veji,” begitu sebutan teman Malaysia untuk warung vegetarian. Huruf vokal “e” diucapkan seperti dalam kata “bebek.”

Setelah sampai di sana, saya mengambil piring serta mengambil sayur. Setelah selesai kemudian melanjutkan ke kasir untuk ditimbang, diberi nasi, dan dihargakan.

“60 NTD,” ucap kasir perempuan di warung veji itu. Suaranya tidak sekeras yang di warung tadi. Ini agak lembut, suaranya. Saya pun membayar dan menyantap nasi itu. Walaupun agak bosan, namun tetap enak karena sedang dirundung lapar.

Sembari makan, saya mulai berpikir akan mau kukasih siapa nasi ber-babi itu. Sasaran langsung mengarah ke teman-teman Vietnam. Wajah-wajah mereka tampak di khayalanku seolah-olah sedang berbaris di depanku untuk menunggu keputusan siapa yang akan saya pilih untuk menghabiskan nasi ini.

Saya memilih teman sekamar saya, Nam namanya. Saya pun menghubunginya melalui pesan fesbuk.

“Nam, kamu sudah makan malam, belum?” tanya saya

“Belum, kenapa?” jawabnya serta bertanya lagi sebab penasaran. Karena belum pernah aku menanyainya perkara makan.

“Aku punya makan malam buatmu,” jawab saya. Saya tidak bilang kalau saya salah beli nasi.

“Aku sudah punya janji makan sama teman. Sori!” jawabnya menyatakan bahwa dia tidak bisa makan nasi sumbangan saya itu.

Saya tak tahu lagi kepada siapa saya harus kasihkan nasi ini. Tetapi aku tidak memikirkan itu lagi. Saya meneruskan saja makan menu veji langganan saya itu dengan lahapnya, sampai habis bersih tak sebulir nasi pun yang tersisa.

Setelah itu saya pulang dengan menenteng nasi yang belum kuketahui untuk siapa aku berikan. Tetapi yang jelas, saya tidak akan membuangnya. Bila perlu, kalau ada yang mau saya ongkosi, maka akan saya ongkosi siapa saja yang mau memakannya. Tak tega membuang makanan ke tong sampah.

Saya pulang ke lab. Betapa senangnya diriku, di lab ternyata masih ada salah satu teman Vietnam yang belum makan malam. Namanya Du, dibaca “zeuk”. Konsonan “k” mati diucapkan seperti hamzah dalam bahasa Arab, seperti dalam kata “rakyat”.

Saya mengisahkan semua kronologi tentang nasi itu sampai saya memutuskan untuk tidak memakannya. Dia paham, tetapi sepertinya dia mau menolak dengan menyarankan agar aku menawarkannya ke teman Taiwan yang juga masih di lab kala itu.

“Kasihkan ke dia saja, Usman” anjur Du sambil mengisyaratkan wajahnya ke arah teman Taiwan itu.

“Aku tak berani. Untuk kamu saja, ya?” imbuh saya dengan nada memohon. Sulit menawari makanan untuk teman Taiwan. Beberapa kali saya tawarkan, mereka selalu menolak. Tetapi tidak demikian dengan teman Vietnam, mereka biasanya mau.

“Ok. Kamu beli berapa tadi?” tanya pria yang akan menghadapi ujian tesisnya minggu depan itu.

“75 NTD,” jawab saya. Saya melihat dia merogoh sakunya untuk mengambil duit.

“Duh, tidak usah! tidak usah! Kamu mau makan saja saya sudah senang,” ujarku sambil melangkah menjauh darinya.

Akhirnya dia menyetujui untuk menyantap makan malam gagal saya itu. Masalah pun usai. Senang, walaupun sedikit kecewa. Tetapi tak mengapa, karena memang beginilah nasib kuliah di Taiwan, negara yang penduduknya menggemari daging babi. Saya yang menuntut ilmu di Taiwan, tidak bisa tidak, pasti kecipratan daging babi.

Sebenarnya kalau saya makan terus-menerus di warung veji bisa saja. Tetapi bagi orang Aceh seperti saya ini, yang dari orok sudah makan ikan, walaupun masih melalui saripati ASI, tentu akan sakau jika berhari-hari tak makan ikan. Badan seolah melemah tak bertenaga. Mau makan ikan atau daging malah terserempet dengan daging babi.

Memang di sekitar NKUAS ada beberapa warung makan non-veji dimana mereka tidak memasukkan daging babi ke sayur-sayurnya, walaupun mereka menyediakan menu daging haram itu. Tidak seperti warung itu tadi yang seenaknya memasukkan daging babi ke sayur-sayurnya.

Orang Taiwan banyak yang tahu kalau orang Islam tidak boleh makan babi. Tetapi mereka pikir kita hanya tidak memakan dagingnya saja, kuahnya boleh. Sehingga jika ada daging babi di sayur, tinggal geserkan saja ke pinggir piring dan kita bisa memakan selainnya. Mereka tidak tahu juga, memegang babi saja kita harus menyamak tangan dengan lumpur beberapa kali. Apalagi memakannya.

No comments:

Post a Comment