Thursday, February 18, 2016

Banjir Dan Pedagang Siomai

Berbalut baju kaos merah, seorang pria berkulit eksotik sibuk melayani pelanggan yang seperti sakau ingin segera melahap siomai racikannya.

"Siomai Cek Hamid memang enak," kata istriku menjawab pertanyaanku yang penasaran kenapa hanya siomai Cek Hamid yang banyak diserbu pelanggan. Pedahal di dekatnya juga ada penjual siomai lain. Ada juga penjual roti, tapi sepi pengunjung.

Sambil membungkus siomai, tangannya sesekali mengipas arang bara pemanggang tahu bakar yang hampir mati dan memerah lagi dengan sedikit hembusan angin. Ternyata dia menjual tahu bakar juga, bukan hanya siomai.

Para pelanggan berbaris membentuk setengah lingkaran di mana Cek Hamid sebagai titik pusatnya. Aku berada di luar lingkaran itu, hanya istriku yang ikut mengantre.

Istriku memang siomai dan bakso lover. Selera kami sangat berbeda untuk dua makanan ini. Aku benar-benar tak suka. Saya sering menemani istri makan siomai dan bakso, tapi saya tak ikut makan. Kadang aku hanya menenangkan si Sayba saja agar ibunya bisa makan dengan tenang.

Sambil menunggu istri mengantre, mataku menyapu seluruh lokasi di sekitar gerobak siomai. Terlihat air menggenangi selatan jalan ExxonMobil di kawasan desa Kuta, Tanah Luas, Aceh Utara.

Ya, lokasi ini sedang dilanda bencana banjir, banjir kiriman dari Bener Meriah yang sudah menjadi langganan setiap musim hujan di akhir atau awal tahun. Tahun ini sudah dua kali banjir menyinggahi desa ini.

Aku tahu, mereka yang terkena bencana sangat sedih. Tapi... karena sudah berlangsung tiap tahun, rasanya mereka tak tahu lagi bagaimana harus bersedih ketika rumah mereka direndam banjir bermalam-malam.

Tak ada yang bisa dilakukan selain mengungsi dan tersenyum kecut ke arah setiap pengunjung yang berbaris di bibir banjir di badan jalan ExxonMobil. Pengunjung ini adalah masyarakat kampung tetangga yang berduyun-duyun mendekati area banjir untuk melihatnya.

Suasana pun berubah menjadi tempat piknik sesaat. Tua muda berkumpul di pinggir jalan melihat air mengalir deras menyeberangi jalan ExxonMobil menuju ke Utara jalan yang sebagian besarnya adalah sawah.

Semacam kata pepatah: ada gula ada semut. Karena ada banyak orang berkumpul, maka pedagang makanan ringan siap menjajakan hasil karyanya. Cek Hamid tak tinggal diam, gerobak siomai-nya sudah siap di lokasi bersama beberapa pedagang lainnya.

Suasana bencana berubah menjadi riuh rendah. Saling menyapa antara pengunjung yang kadang teman yang sudah lama tak bersua, sekali bersua malah ketika mengunjungi banjir.

Tawa riang pun pecah ketika melihat pengendara sepeda motor melintasi jalan ExxonMobil yang sudah berlubang-lubang sebesar kubangan kerbau tapi terlihat rata ketika ditutupi air. Pengendara terlihat terpental-pental seperti menunggang banteng gila. Tak sedikit dari mereka yang jatuh dan bangun lagi.

Jauh dari hiruk pikuk dan gelak tawa pengunjung, mereka yang rumahnya tenggelam meratapi nasib seraya bertanya apakah benar banjir tahunan ini tak bisa diatasi dan selalu menjadi tontonan renyah akhir tahun sebagai waterboom terluas di dunia?

Ditulis pada 9 Februari 2016

Cek Hamid sedang menjual siomai di lokasi banjir

No comments:

Post a Comment