Tuesday, March 14, 2017

Saya, Jupiter MX, Dan Razia Kenderaan

Kemarin, 8 Maret 2017, ada razia gabungan di jalan propinsi di kawasan Simpang Ceubrek, Syamtalira Aron, Aceh Utara. Kalau ini yang dicek bukan hanya sepeda motor, tapi juga mobil-mobil mewah.

Secara kebiasaan, pengendara sama sekali tak sulit untuk tahu bahwa di depan ada razia. Soalnya, warung-warung kopi sebelum dan sesudah tempat razia, pasti penuh. Dan di luarnya berjejer sepeda motor segala macam merek.

Mereka berhenti menunggu razia usai, kemudian baru tancap gas lagi. Di sisi lain, pemilik warung kopi mendadak ketiban rezeki, kopinya laku keras. Bagi mereka, tiap hari bila perlu harus ada razia terus.

Saya, yang diakui penduduk langit dan bumi taat peraturan lalu lintas, tentu tak perlu berhenti di warung kopi itu, melainkan dengan modal surat yang lengkap (atau malah lebih) melenggang santai, terus berjalan.

Di depan sana sudah terlihat polisi lalu lintas dengan lambaian tangan khasnya yang seram itu. Tapi tentu bagi saya lambaian tangan itu lembut, tak seram sama sekali. Bagi pelanggar, mungkin itu akan tanpak beda, menakutkan.

Saya terus melaju, mendekat. Dalam hati sudah ambil ancang-ancang: sampai di depan polisi, senyum sedikit, kemudian mengeluarkan segala surat-surat yang dimintainya.

Beberapa ibu di depan sepertinya sudah diperiksa. Saya sudah siap-siap. Pengin sekali diperiksa karena surat-surat saya lengkap semua.

Tapi sejurus kemudian harapan saya pupus. Begitu sampai di depan polisi, alih-alih meminta saya mengeluarkan surat-surat, polisi malah bertanya, "Ho nak jak, Pak? - Mau kemana, Pak?." Pertanyaan itu samar di telinga saya sebab disaput desingan mesin mobil yang berhenti dan akan melaju setelah pemeriksaan.

Saya mengeluarkan dompet, ambil surat. Polisi bertanya lagi dengan keras dan merunduk agar dekat dengan kuping saya yang tertutup helm, "Bapak mau kemana!?"

Demi tahu pertanyaan itu saya malah lupa menjawabnya, terus bilang, "O, tanya saya mau kemana? Saya pikir tanya apa tadi. Saya pikir minta surat kendaraan." Saya memasukkan lagi dompet ke saku belakang celana..

Polisi tertawa, "Bukan, Pak. Sudah, lewat saja."

Saya menyimpul senyum dan kabur dengan rawut wajah sedikit kecewa. Pasalnya, saya pengin sekali diperiksa. Bangga saat polisi melihat surat-surat saya lengkap semua.

Ini bukan kali pertama saya tak diperiksa di razia gabungan. Atau mungkin, bapak polisi punya ilmu jiwa kali, ya? Sehingga mereka tahu sepeda motor mana yang tak lengkap suratnya, dengan hanya melihat dari cara jalannya saja? Mungkin, mungkin.

Tapi suatu hari, saya lupa tanggalnya, teman saya memang pernah bilang bahwa kalau gaya sepeda motornya seperti saya, paling polisi tak akan menyetopnya. Kelihatan sekali dari wujudnya bahwa itu lengkap semua surat-suratnya. "Buat apa distop, buang-buang energi saja, " kata teman saya pada suatu hari, tertawa.

Memang sih, saya memang begitu orangnya. Jangankan sekarang, dulu saja, di masa-masa jahiliyah berlalu lintas yang seorang pemuda tidak jadi ganteng kalau belum mencopot semua kaca spionnya, saya adalah salah satu pemuda yang tetap mempertahankan spion standar melambai-lambai di kiri-kanan setang. Dan juga saya tidak mau menggantikannya dengan spion yang hanya segede upil itu.

Untuk diketahui bagi yang muda-muda sekarang, bahwa kebiasaan pakai spion standar seperti sekarang baru marak di Aceh sekitar tahun 2000-an. Sebelumnya, sepeda motor setelah dibeli pasti kedua spionnya dicopot. Atau untuk mengelabui polisi, maka dipakailah spion kecil yang hanya bisa digunakan untuk mengintip selilit di sela-sela gigi. Untuk melihat kebelakang, tidak bisa!

Terkait kebiasaan dulu yang mencopot kaca spion, teman saya di Jogja yang pernah datang di Aceh mengeluh kepada saya saat saya bersekolah di UGM tahun 2003-2005. "Kenapa, ya, orang-orang di tempatmu, spion sepeda motornya dicopot semua? Aku jadi sulit sekali mengendarai sepeda motor di sana."

Saya sambil tersenyum, menjawabnya lebih kurang seperti di atas, "Di sana, pencopotan spion itu sebagai ukuran kegantengan seseorang."

Lebih gawat lagi, orang-orang yang tidak mencopot spion sepeda motornya kala itu, akan dicibir dengan perkataan, "Leueng amin sabee sagoe nyan - Baca doa terus di situ." Hal ini karena kaca spion itu dipersonifikasikan sebagai tangan orang yang sedang menadah ketika berdoa. Lucu, ya, orang-orang saya dulu?

Eh, hampir lupa, sekarang bagi pengendara sepeda motor diwajibkan menghidupkan lampu utama sekalipun di siang hari. Maka, jika Anda melihat ada sepeda motor Jupiter MX warna merah lengkap dengan dua spion standar dengan lampu menyala di sekitar jalan Lhokseumawe dan Aceh Utara, maka itu kemungkinan besar adalah saya, yang Polisi razia pun kadang malas menyetopnya.

No comments:

Post a Comment