Sunday, April 2, 2017

Saya, Istri, dan Orang Manteue

Saya ingat pada 10 Juli 2016 lalu, buat pertama kali saya berziarah ke makam raja Pase Sultan Malikussaleh di desa Beuringen, kecamatan Samudra, Aceh Utara. Ada seorang paruh baya di situ. Saya tak tahu dia siapa, tapi dari cara bicaranya tentang makam itu, yakinlah saya bahwa dia mengetahui seluk-beluk makam tersebut. Minimal menurut versi dia sendiri.

Entah apa yang memantiknya, saya lupa, sepotong kalimat “orang Aceh ini, orang multi” menyelit di antara ratusan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Penjelasan untuk itu kemudian dilanjutkannya, bahwa orang Aceh ini tidak memiliki ciri-ciri khusus karena sudah bercampur dengan berbagai macam suku bangsa. Inilah maksud multi baginya. Bercampur.

Benar juga kata bapak itu. Saya melihat wajah saya sendiri. Sebagian teman bilang saya mirip Arab, dan ada juga yang bilang wajah saya seperti India. Kulit saya coklat. Hidung saya besar. Dan kalau terpaksa harus, maka bolehlah dikatakan mancung. Dulu, gigi saya juga mancung, dan lagi acak-acakan sebelum ditarik pakai behel. Sekarang, jangan tanya, ganteng maksimal, setelah berevolusi sana-sini.

Nah, sekarang kita lihat istri saya. Sepertinya, dari pengamatan saya, mulai dari saat ngintip diam-diam di warung pecal desa Kuta saat dia berangkat sekolah ke SMA Matangkuli, sampai saat sudah menjadi istri dan punya anak dua, istri saya mirip artis Korea. Matanya agak coklat cum bersih. Rambutnya pirang lurus. Kalau tergerai maka tercapailah bahu. Kulitnya putih tapi agak berwarna coklat muda. Mukanya bulat tapi tetap memberi kesan lonjong, lebih-lebih disekitar dagunya. Dari wajahnya, mirip artis Korea. Dari Rambut pirangnya, Eropa.

Dari bentuk tubuh, rambut, warna kulit, dan wajah kami, maka bisa saya simpulkan bahwa darah multi yang mengalir ke tubuh kami benar-benar dari kelompok suku-suku bangsa yang berbeda. Namun, di antara sekian banyak etnis yang menyusun tubuh kami, saya curiga, kelihatannya ada aliran etnis tertentu yang mengalir ke tubuhnya dan juga mengalir ke tubuh saya. Saya tak tahu itu etnis apa. Tapi ciri-cirinya sungguh jelas bagi saya: makannya banyak. Karena kami berdua benar-banar si jago makan. Dan selalu saling mendukung dalam urusan makan.

Apakah itu suku Manteue? Yang kemunculannya di pedalaman Aceh membuat heboh sejagat maya? Saya menarik napas panjang, menggeleng. Sayang, dari buku-buku yang pernah saya baca, di antara sederet ciri-ciri orang Manteue, tak satupun dinyatakan bahwa suku Mateue suka makan banyak.

No comments:

Post a Comment