Sunday, April 30, 2017

Pengakuan Kedaulatan Jelek dan Ganteng

Oke, saya akui saja, biar sama-sama enak. Saya memang tidak ganteng (masih belum tega menyebut jelek), dan bahkan, satu angkatan sekolah, sayalah yang paling tidak ganteng dulu.

Baik saat sekolah di SMA di mana pemuda begitu menggebu-gebunya naluri kesetrum ketika melihat perempuan, maupun sampai kuliah di Politeknik Negeri Lhokseumawe, saya cenderung menjauh dari perempuan karena memang tidak percaya diri.

Pendeknya, saya yakin sekali akan ungkapan yang saya buat sendiri, “Siapa pula yang mau sama saya?” Maka saat itu, tempat istirahat saya adalah perpustakaan. Kantin adalah hanya untuk waktu makan saja, setelah itu kabur. Mungkin karena itulah minat baca saya begitu tinggi sampai sekarang, karena tidak ganteng.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah saat saya masuk Politeknik Negeri Lhokseumawe di tahun 1999, rambut saya dipaksa cukurkan karena begitulah peraturan anak baru di saat menghadapi masa pelonco yang jahanam itu.

Tentu, walaupun rambut saya jelek juga, tanpa rambut itu benar-benar wajah saya tidak bisa tertolong sama sekali kala itu. Jangankan orang lain, saya sendiri enek melihatnya. Pengin rasanya saya pecahkan saja cermin di rumah kalau tidak takut sama ibu.

Bulan-bulan pertama masuk kuliah, tentu rambut saya masihlah pendek. Saya bersama teman-teman masuk kelas. Saya lebih cenderung menyendiri karena memang saya sulit memulai pertemanan. Teman-teman juga nampaknya tidak merasa terlalu penting untuk dekat dengan saya. Walaupun mereka semua baik-baik pada sangka saya. Tapi sayalah yang suka menyendiri.

Hari demi hari kuliah berjalan. Pendidikan di Politeknik saya sadari tidaklah jauh bedanya dengan SMA. Bahkan, ada yang menarik, salah satu dosen suka memberi soal rebutan yang siapa duluan selesai maka akan langsung mendapat nilai tinggi dari dosen itu. Soal rebutan itu tak saya lepas angin sedikit pun kepada semua teman saya, kecuali semua saya rebut habis. Nilai saya pun meroket tak terkejar.

Saat itulah pandangan teman saya mulai tertuju ke arah saya, menyadari bahwa wajah itu sama sekali tidak mewakili kecerdasan seseorang. Istimewa pula, seorang teman yang kemudian menjadi akrab dengan saya, ketika melihat saya bisa menyelesaikan soal-soal itu dengan cepat, mengakui kepada saya bahwa dulu ia pernah bilang kepada teman-teman lain: “Kupikee si gam bangai si gamnyan – Saya pikir anak bodoh dia itu.”

Demi mendengar pengakuan itu tentu seketika saya tertawa, dan tentu pula tanpa tedeng aling-aling saya harus mengakui sebagai manusia normal bahwa saya langsung seolah melambung ke angkasa saat itu, tersanjung.

Saya memang dari dulu sampai sekarang lebih membanggakan pengetahuan saya dibandingkan dengan penampilan fisik. Ya, tentu itu harus diakui juga sebagai sebuah fait accompli yang harus ditanggung oleh si buruk rupa. Tapi, minimal kita mempunyai sesuatu yang bisa kita banggakan dalam diri kita. Jangan sudah jelek, bodoh, terus songong lagi.

Sungguhpun demikian, bukan berarti saya menafikan akan pentingnya penampilan menarik. Saya tetap berusaha untuk itu.

Itulah sebabnya pada tahun 2007 saya berurusan dengan spesialis ortodonsi untuk menata gigi saya yang amburadul kala itu. Sampai sekarang gigi saya masih terpasangi penahan (retainer) yang dulu maksudnya agar gigi saya tidak kabur-kabur lagi.

Dokter gigi sebenarnya sudah bilang bahwa saya tidak perlu lagi pakai retainer karena gigi saya sudah kuat akarnya pasca diseret-seret dalam beberapa tahun terakhir. Tapi saat saya mau melepaskan retainer itu, istri saya malah protes, “Jangan, dipakai saja. Saya suka melihatnya.”

Itulah sebabnya sampai sekarang seutas kawat masih tetap memagari gigi saya. Kawat ini bukan untuk gigi saya lagi. Tapi untuk istri saya. Dia suka, itu saja. Dan bagi saya itu sudah cukup alasan untuk tetap mempertahankannya.

Lihat, sesuatu yang seharusnya saya buang tapi tetap saya pertahankan hanya karena istri saya suka. Menjadi istri seorang Usman anak Blangjruen, sungguh nikmat Tuhan yang selayaknya tidak didustakan.

Tambahan lagi, tiga tahun yang lalu, teman saya di Politeknik dulu yang telah lama tak bertemu, secara spontan pernah bilang kepada saya kala itu, “Kah kaganteng keuh jinou – Kamu sudah ganteng sekarang” sambil menatap saya lamat-lamat. Saya yakin itu maksudnya bahwa saya tidak sejelek dulu lagi.

Saya dipuji begitu, langsung menyahut dengan sombongnya, menggoda, “Loh, bukankah dari dulu saya sudah ganteng?”

Ia mencibir. “Paneena, uroujeeh leupah gura hi keuh – Mana ada, dulu cukup jelek rupamu.”

Kami pun sama-sama tertawa.
__________
Hasyiah:
Fait accompli adalah sesuatu yang tidak dapat dipersoalkan lagi karena sudah selesai (dilaksanakan) (KBBI).

Songong adalah tidak tahu adat (KBBI).

No comments:

Post a Comment