Wednesday, May 17, 2017

Sombong

Ternyata ada juga yang menuduh saya sebagai orang sombong. Katanya, kalau makin berilmu seseorang maka seharusnya makin rendah hatilah ia. Sedangkan saya, katanya, tidak seperti itu. Saya tidak masuk ke salah satu orang yang rendah hati itu.

Atas tuduhan itu saya terus terang tidak tahu mau menjawab apa. Kalau di facebook, hanya saya “like” saja. Kalau diucapkan langsung mungkin saya hanya tersenyum dan juga, seperti biasa, saya bawa canda saja. Karena canda itu memang khas saya.

Dalam kehidupan saya, sedari kecil saya cenderung menjauh dari orang-orang yang telah dianggap tokoh oleh khalayak. Bahkan sampai sekarang masih seperti itu. Ini bukan artinya saya tidak suka kepada mereka, bukan itu. Malah saya sangat menghormati mereka. Cuma saja nuansa formal pada dunia tokoh itu kerap membuat saya kikuk, salah tingkah. Saya tidak nyaman dengan dunia seperti itu. Akhirnya saya menjauh.

Oleh karena itu, saya tidak dekat sama sekali dengan tokoh-tokoh di kecamatan tempat saya tinggal. Saya hanya ingin menjadi masyarakatnya yang baik. Itu saja. Sekalipun ada sedikit kedekatan dengan ulama-ulama, tapi itu bukan kedekatan sebagai tokoh, melainkan sebagai kedekatan antara murid dan gurunya. Yang saat bicara, saya lebih banyak merunduk dan menjawab “iya, iya, dan iya”.

Terus, dengan golongan apa saya akrab dan suka bicara? Dengan anak-anak muda atau orang-orang tua biasa baik yang terdidik maupun yang tidak sama sekali, yang kadang tak jelas pemikirannya akan masa depan. Yang kadang mereka membaca koran, yang tertulis “ke timur”, dipahaminya “ke barat”. Dengan orang-orang semacam inilah saya suka bercengkerama.

Atas kebiasaan saya yang selalu suka nongkrong dengan anak-anak yang tidak jelas, sempat juga dulu saat masih SMP saya dimarahi abang saya. “Ikah kiban ilei, ngoen keuh watee urou syit ngoen kameeng keudee – Kamu ini bagaimana, teman kamu tiap hari cuma dengan kambing kedai, ” begitu kritikan abang saya pada suatu malam.

Julukan “kambing kedai” itu dialamatkan kepada anak-anak muda belia tapi sudah lepas dari pantauan orang tuanya dan jarang pulang ke rumah. Mereka biasanya selalu nongkrong di pasar dan kadang tidur di langgar. Biasanya mereka juga sudah putus sekolah. Dengan merekalah saya kerap bergaul.

Jika menilik kehidupan mereka, tentu wajar ada orang tua yang tidak suka jika anaknya bergaul dengan kambing kedai ini. Tapi saya, sekalipun demikian, tetap bergaul dengan mereka. Dan untungnya, saya tidak terpengaruh sama sekali dengan kehidupan buruk mereka. Satu hal yang paling cepat terpengaruh jika berteman dengan mereka kala itu adalah merokok, dan sampai sekarang saya bukan perokok. Justru sebaliknya, mereka yang kerap terpengaruh dengan saya.

Terkait berteman dengan anak-anak muda, dulu saat saya lagi cari-cari istri (2011-2012), pertemanan dengan mereka sempat tidak ikhlas juga saya. Artinya, saya menambah jumlah kedekatan dengan anak-anak tingkat SMA dengan harapan agar saya diperkenalkan dengan teman seangkatannya yang perempuan atau saudaranya yang perempuan, untuk saya jadikan istri.

Tak rugi, maksud saya itu tercapai. Yang memperkenalkan saya dengan seorang wanita muda cantik yang sekarang telah menjadi istri saya adalah dari kalangan anak muda. Ia memperkenalkan saya dengan adik sepupunya. Mendapatkan istri itu adalah keberhasilan luar biasa bagi seorang dosen yang sudah S2 dengan wajah pas-pasan. Karena yang sering terjadi adalah, wanitanya mau, saya tidak. Saya mau, sebaliknya wanitanya tidak. Ada juga yang sudah bilang mau, ternyata besoknya tidak. Dari golongan mudalah persoalan saya itu selesai dengan jalan cukup damai.

Waduh, kok jadi sampai kemari pembahasannya ya? Oke, kembali ke kambing kedai.

Sampai sekarang teman saya masih anak-anak muda dan juga orang-orang biasa. Dengan tokoh-tokoh tidak begitu dekat, tapi tentu saya sangat menghormati mereka. Saya dengar tuturnya dan tidak akan berbantah-bantahan dengan mereka. Karena bagi saya, walaupun saya tidak sanggup berwibawa, saya akan tetap menghormati kewibawaan orang lain. Tidak ada kebanggaan bagi saya ketika saya berhasil meruntuhkan kewibawaan orang lain.

Salah satu anak muda yang sampai sekarang masih menjadi teman saya, dulu sempat juga mengkritik perkara saya dalam memilih teman. “Tgk, idrouneuh lampah ngoen tokoh-tokoh neumeungoen. Bek watee urou gadoeh neuduek ngoen aneuk miet neupeugah haba bangai – Tgk, kamu bagusnya bergaul dengan tokoh-tokoh. Jangan tiap hari nongkrong dengan anak kecil bicara hal-hal bodoh.” Begitu kata seorang anak muda yang sudah menjadi teman akrab saya itu.

Ia tak sadar, jika saya dari dulu tidak mau berteman dengan anak-anak muda yang sering dipandang sebelah mata oleh para tetokoh, tentu ia tidak akan mempunyai teman seperti saya.

Ia juga menambahkan hujahnya kepada saya, bahwa jika saya mau, maka akan cepat dipertokohkan dibandingkan dengan si Polan dan si Polin. “Karena idrouneuh loe ileumei – Karena kamu punya banyak ilmu, ” begitu katanya lagi menyampaikan alasan.

Sepertinya itu tidak mampan. Saya, sampai sekarang, masih saja seperti dulu. Suka bergaul dengan orang-orang biasa. Anak-anak muda yang kadang tidak jelas pikirannya. Mengobrol dengan mereka, mendengar permasalahannya, candanya, dan tawanya. Dan lagi, saya lebih banyak bertanya saat mengobrol dengan mereka. Bertanya apa saja yang kira sesuai dengan latar belakang mereka. Kadang mereka juga bertanya kepada saya.

Pertanyaan saya, apakah karena ini saya dituduh sombong? Atau karena saya sering muji-muji diri di facebook dengan bilang bahwa saya paling ganteng sedunia? Itu bercanda, Bro, Sis. Tinggikanlah sedikit selera humormu. Aman hidup kita.

No comments:

Post a Comment