Setelah lelah berkeliling pulau kecil ini, di dekat dermaga Baisha, saya membeli air meneral di sebuah warung.
“Lima belas,” teriak pemilik warung, menyatakan harga.
Saya mengeluarkan uang 15 NTD, membayar. Sambil membuka tutup botol air, saya menatap keluar warung dengan mata setengah memicing, melawan silau. Cuaca cukup cerah hari ini. Saya minum air sambil satu tangan berkacak pinggang, menikmati lepasnya dahaga.
“Indo, Mas?” salah satu ibu dari jamaah pembuat kue puntir khas pulau Liuqiu, di bawah emperan warung, bertanya kepada saya.
Saya melihat wajah mereka satu per satu, untuk memastikan dari mana suara itu berasal. Pasalnya, wajah mereka terlihat sama semua karena terbungkus masker.
“Dari Indo, Mas?” suara itu datang lagi. Ternyata ia berasal dari seorang ibu yang duduk di paling ujung. Tak jauh dari tempat saya berdiri. Tangannya terus saja memilin tepung sekalipun pandangannya sudah tertuju ke arah saya.
“O, iya, Bu,” saya menjawab sambil berfokus tatapan ke wajahnya.
“Dari Indo juga, Bu?” saya balik bertanya.
“Iya.”
“Eh, kalau tidak disapa, saya pasti tak tahu ibu juga orang Indo. Apalagi pakai masker seperti itu.” Saya mulai sok akrab, menggodanya.
Ibu ini tersenyum. Tangannya terus saja memilin adonan kue puntir.
“Kok, kenal saya orang Indo, Bu?” Saya bertanya lagi, karena memang ada beberapa orang di Taiwan ini berpikir saya orang India. Saya tak tahu di bagian mananya dari wajah saya yang mirip dengan onderdil orang India.
“Itu, saya baca nama kamu. ‘Usman’.” Ia menunjuk ke arah kartu nama yang terkalung di leher saya.
“O, saya pikir karena apa.” Mata saya menatap liar mencari tempat duduk. Saya ingin mengobrol sekaligus istirahat sebentar. Capek.
Pas sekali, di samping ibu ini ada kursi plastik kosong, warna merah, tak berpenghuni.
“Bu, boleh saya duduk di sini sebentar?” pinta saya sambil memegang kursi itu.
“O, silakan, Mas.” Sembari tangannya lincah memuntir adonan tepung di tangannya, mempersilakan saya duduk.
Saya mengobrol dengan ibu ini dan dengan empunya warung yang sekalipun bukan orang Indonesia, bisalah ia berbicara bahasa Indonesia biarpun patah-patah.
Sambil mengobrol saya minum air putih sereguk demi sereguk. Sebenarnya tadi dari kampus saya membawa air putih satu botol besar. Namun, karena udara panas dan agak kering, cepat saja air itu habis saya minum.
Istimewa pula, segera setelah feri yang mengangkut kami dari pelabuhan Dong Gang di daratan utama pulau Taiwan, ke pelabuhan Baisha di pulau Liuqiu ini, kami langsung diberi sepeda motor listrik yang masing-masing kami harus membayar sewaan sebesar 100 NTD.
Dengan sepeda motor listrik itulah kami dilepas untuk main ke mana pun kami suka dengan bekal satu peta bertulisan Mandarin dan lagi buram, tidak jelas cetakannya. Benar-benar peta tak bermanfaat sedikit pun bagi kami yang tidak mengerti karakter Mandarin.
Peta itu saya lipat dan masukkan saja ke dalam tas. Sebagai gantinya, saya berusaha menempel dan mengekor terus panitia rombongan dari pihak kantor urusan internasional kampus.
Satu motor listrik sejatinya diperuntukkan untuk dua orang, sopir dan penumpangnya. Saya awalnya memilih untuk tidak mau naik sepeda motor ketika ada yang bilang kepada saya bahwa, kalau tidak mau mengendarai sepeda motor agar memisahkan diri dari kelompok yang mau. Pikir saya, sebagai gantinya nanti kami akan diangkut dengan mobil. Padahal bukan itu maksudnya.
Maksud dari tidak mau mengendarai sepeda motor adalah, tidak mau jadi sopirnya. Sehingga kami dipisahkan saja karena tidak perlu diceramahi perihal tatacara pengoperasian sepeda motor listrik itu dan juga tatacara pengecasan baterai seandainya habis kelak.
Namun, dengan ikut mengintip ceramah petugas persewaan, ternyata saya tertarik juga untuk ikut naik sepeda motor listrik. Kapan lagi, pikir saya. Makanya, manakala sampai waktunya pengambilan sepeda motor, saya ikut mengantre !
Saya menatap teman Indonesia yang juga ikut mengantre, berujar, “ternyata saya suka, penasaran pengin pakai sepeda motor listrik juga.”
“Makanya, tadi bilang enggak mau... ” teman saya menimpali, tertawa. “Tapi enggak apa-apa, bilang saja tadi enggak tahu pengumumannya. Kan, pakai bahasa Mandarin?”
Kami sama-sama tertawa di antrean sambil menutup mulut. Tapi kenyataannya memang kami tidak bohong juga. Buktinya, ternyata saya benar-benar tak tahu maksud pengumuman itu, kan?
Setelah mendengar syarahan teman saya itu, saya mengangguk-angguk sambil melangkah mengikuti jalannya antrean. Maka sampailah saat jatah saya mengambil motor tiba. Saya menyeretnya keluar lokasi parkir, menuju pinggir jalan sebelah kanan di mana posisi rombongan siap berangkat.
Saya tidak tahu cara menghidupkannya. Saya diajari teman Indonesia dari jarak jauh, ia tidak turun dari motornya. Saya masih bingung ketika petugas persewaan kebetulan melintas di samping saya. Saya minta tolong kepadanya. Setelah diajari, o, ternyata sama seperti sebagian motor matic, harus tekan rem dulu baru bisa start. Paham sudah saya sekarang.
Saya melihat kiri-kanan, baru saya menginsafi bahwa semua teman ternyata berpasangan mengendarai sepeda motornya. Kebanyakan kami adalah anak Vietnam, hanya satu orang Mongol, dua orang bule, dan dua orang Indonesia. Anak Vietnam semua berpasangan, rata-rata laki-perempuan. Teman saya Indonesia berpasangan dengan anak Mongol, perempuan-perempuan. Sementara saya, sendiri ! Malu juga saya ternyata, merasa terkucilkan di pulau kecil ini.
“Hei, tak ada satu pun yang mau sama saya !?” saya berteriak. Alih-alih ada yang datang, saya malah ditertawai khalayak. Biar saja, saya tak peduli !
Anak Mongol perempuan itu malah menggoda, “Maukah kamu belikan saya es krim? Saya mau menemani kamu.”
Kami pun tertawa. Akhirnya memang saya bersepeda motor sendiri. Karena jumlah kami memang ganjil, pasti ada satu yang akan tidak punya pasangan.
Sejurus kemudian kami berangkat. Di gas pertama, betapa banyak dari kami yang terhempas ke belakang karena tidak terbiasa bersepeda motor listrik. Untungnya saya tidak. Ternyata saya lebih lembut daripada yang orang duga. Pedal gas sepeda motor itu sukses saya putar dengan lembutnya.
Kenapa dengan kelembutan? Karena motor listrik itu tak bersuara. Di colek sedikit saja, tak ada kum tak ada salam main kabur saja itu motor. Makanya bukan hanya saat gas pertama di awal berangkat, sampai piknik hampir usai pun masih saja ada beberapa kali yang masih terhempas. Salah satunya adalah awak kantor internasional.
Titik pertama yang kami singgahi adalah sebuah pantai berkarang yang sungguh cantik hanya untuk dilihat saja. Untuk mandi, sulit sekali nampaknya. Karang-karang itu benar-benar menyiksa kaki. Namun, beberapa pengunjung terlihat juga melakukan snorkeling.
Tak jauh dari bibir pantai ini adalah sebuah bangunan tua yang dibuat dengan mengorek tebing. Saya duga itu rumah biasa yang tak bernilai sejarah. Terlihat dari kondisinya yang tidak terawat. Karena di Taiwan ini, tak ada satu pun tempat yang bernilai sejarah yang ditelantarkan. Namun, teman Taiwan bilang itu adalah benteng peninggalan perang. Saya mengangguk saja sekalipun tidak percaya. Tak mungkin.
Saya tak tahu nama pantai ini, sebagai mana juga anak Taiwan asli yang saya tanya juga tak tahu dan tak peduli dengan namanya. Yang penting dinikmati saja, begitu kira-kira anggapan kami semua hari itu.
Hari semakin cerah, membuat birunya langit sampai di batas cakrawala. Hanya ada beberapa onggok awan kesepian tak bergerak di ujung langit sana. Laut biru membentang hampir tak beriak, sekalipun angin tetap semilir mengelus kulit kami yang panas tersengat matahari.
Tak lama juga kami di pantai ini, kemudian kami berangkat ke lokasi lain. Saya tetap mengekor orang yang saya anggap ketua rombongan. Di tengah jalan tenggorokan kami kering, kami harus minum sesuatu. Kami sepakat minum es krim yang diusulkan teman Taiwan. Setelah memesan, sampai, ternyata bukan es krim, tapi es teler alias es serut.
Tak tahu mengapa orang Taiwan selalu menyebut ini sebagai es krim. Padahal es krim itu beda, dan mereka tahu itu. Sudah dua kali di Taiwan ini saya kecolongan dengan yang namanya es krim, nyatanya es teler.
Saya sebagai pencinta es krim tentu kecelek alias kecewa setelah mengimpikan makan es krim, nyatanya dapat es teler. Dan hari itu terjadi lagi ! Di sebuah pulau kecil di selatan kota Kaohsiung. Liuqiu nama pulau itu.
Lupakan “es krim” itu. Saya malas membahasnya. Karena setelah itu kami beranjak pergi dari situ dan berhenti di sebuah tempat yang bernama “Black Devil Cave”. Mengerikan, bukan? Goa Setan Hitam ! Itu arti nama tempat tersebut. Kami sepakat secara aklamasi tak masuk ke situ. Bukan karena kengerian namanya, tapi karena harus bayar.
Sebagai gantinya kami hanya berswafoto dengan latar pamflet tempat yang bombastis itu sambil ditonton petugas loket. Setelah itu kami kabur menghilang dari pandangan mereka, menuju ke tempat lain.
Yaitu ke sebuah pantai, yang kali ini indah dan ramah manusia, beda dengan pantai tadi. Artinya, pantai ini bisa dipakai untuk mandi. Pasir putih sekalipun tidak sehalus pasir pantai di Indonesia, namun masih tetap nyaman dan aman untuk diinjak dan diduduki.
Banyak pengunjung yang mandi dengan derai tawa membahana, gembira tingkat tinggi. Beberapa dari mereka juga ada yang berbikini atau celana pendek tapi atasan hanya berkutang saja. Saya pakai kacamata hitam. Tak ada satu pun yang tahu ke mana sorot mata saya menuju.
Adalah anak Mongol yang berkulit putih bersih, berbadan subur, dan bermata sedikit sipit itu yang begitu bergelora kegembiraannya. Betapa tidak, coba lihat peta dunia, dan tiliklah negara Mongolia. Yaitu sebuah negara yang tidak memiliki laut. Itu artinya, bagi orang Mongolia yang tidak pernah keluar negeri, tidak akan pernah bisa menyaksikan laut seumur hidupnya.
Sekalipun indah mempesona, baik pantainya ataupun pengunjungnya, ternyata tak lama pula kami di situ. Kami segera angkat sauh menuju tempat selanjutnya. Yaitu ke sebuah pelabuhan. Kami berhenti di situ. Hanya untuk melihat saja. Ini sebenarnya adalah pelabuhan pendaratan ikan, namun dibuat bersih tertata indah dan lumayan memanjakan mata.
Dasar lautnya juga terlihat berkarang. Ada segerombolan peserta snorkeling yang kelihatannya sedang dilatih oleh beberapa instruktur. Kami melihat saja dari atas, jepret sana jepret sini, kemudian mengobrol dengan seorang pelaut Taiwan yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia, sekalipun patah-patah.
Salah satu nama tempat yang muncul dari mulutnya adalah Bali, Bali, dan Bali. Bali benar-benar surga dunia bagi banyak penghuni pertiwi. Tak satu pun yang bilang Blangjruen, kota kelahiran saya. Padahal Blangjruen itu kan tempatnya orang-orang hebat dan ganteng? Halah !
Di sekitar pelabuhan ini ada sebuah bangunan serupa menara yang tersampir di salah satu sisi cerocok pelabuhan. Memang, pelabuhan di pulau ini semua dipagari dengan cerocok yang cukup tinggi. Hanya sebelah samping kiri yang ada bukaan sebagai pintu masuk kapal ke pelabuhan. Oleh karena itu, rasa-rasanya, gelombang laut musim taifun sekalipun tak akan mampu melewati cerocok itu. Sehingga kapal-kapal yang melabuh akan aman dari benturan.
Kami naik ke menara. Laut terlihat biru luas membentang, ditangkup mangkuk langit yang biru muda bersih hampir tak berawan. Daratan dimulai dengan bibir pantai berkarang putih. Tanah bukit curam menyusul setelahnya dengan hijau tetumbuhan.
Pelabuhan ini sepi. Kami tiba di tengah hari. Mungkin bukan waktunya pendaratan ikan. Cuaca semakin panas, tapi semilir angin menjinakkannya. Tangan saya mulai hitam, hangus terbakar matahari di perjalanan.
Kumandang azan Zuhur menggema di ponsel. Saya mulai lihat kiri-kanan, mencari tempat yang bisa saya pakai untuk bersujud. Saya dapatkan, di bawah menara ada sebuah bangunan beratap tanpa dinding, berlantai semen agak bersih. Tempat berwudu, belum ada. Tak ada keran air terlihat di pelabuhan ini.
Saya ambil sepeda motor, menyusur tepi pelabuhan. Ada WC lima muka dekat pintu masuk pelabuhan. Saya tanya kepada yang sedang mandi di situ. Dia bilang, kira-kira maksudnya adalah, ini bukan WC umum. Loh, WC pribadi kok banyak pintunya? Pikir saya.
Saya masih bingung ketika tiba-tiba di belakang saya datang ketua rombongan. Saya mengeluh kepadanya, mau berwudu. Atas penjelasannya kepada yang punya WC itu, kemudian saya diizinkan masuk ke WC tersebut.
Anjing besar segede kambing bunting terikat di dekat pintu WC. Kelihatannya anjing ini jatuh cinta pada saya. Tak bosan-bosannya ia menyalak ke arah saya sampai akhirnya ditabahkan hatinya oleh majikanya. Ia diam. Saya masuk ke WC.
Ada keran dan penyemprot air di dalamnya. Saya berwudu, selesai, dan keluar dari WC. Anjing itu menyalak lagi. Majikannya datang, menenangkannya. Ia diam. Saya cepat-cepat pergi dari tempat itu sambil bilang terimakasih.
Sampai di menara lagi, ketika saya mau salat, kepala rombongan bilang agar kami segera pergi ke suatu tempat, karena makan siang tidak dibawa ke sini, melainkan ke tempat lain, dan kami harus ke sana.
Saya menunda salat, ikut pergi. Maka sekarang sampailah di suatu tempat, juga pantai. Tempat ini hanya pantai biasa yang dipagari kayu yang kuat dan rapi. Ada terowongan ke bawah tanah yang entah ke mana ujungnya dan apa pula isinya, saya tidak tahu karena tidak berniat masuk.
Sebuah bangunan beratap tak berdinding disediakan di dalam taman pinggir pantai itu. Di situlah saya salat dan dilanjutkan dengan makan siang. Nasi kotak. Saya pilih nasi yang hanya berlauk sayur dan ikan saja, sesuai dengan jenis makanan yang saya pilih saat mendaftar dulu.
Di bawah bangunan tempat kami makan itu adalah juga seorang ibu tua yang menjual kue puntir dan sirup dingin. Sirup dingin ini sungguh menggoda. Saya beli, 30 NTD harganya. Tak mengapa. Dari warnanya yang merah gelap pasti enak rasanya. Namun, begitu saya minum seteguk, saya langsung menoleh ke arah teman Indonesia, bilang, “Beruntung kamu, Mbak.”
Tawanya pecah, bertanya, “Tidak enak, ya?”
Saya hanya mengangguk dan menyimpan air itu ke dalam tas. Sampai di kampus air itu tak pernah saya habiskan. Rasanya hanya asam dan agak ada rasa semriwing aneh begitu. Entah ramuan apa yang dimasukkannya.
Tapi di tempat itu saya juga membeli kue puntir. Yang ini saya yakin enak dari awal. Dari wanginya saja saat melewati kedai-kedai pembuat kue ini di pelabuhan Baisha tadi, membuat kerongkongan saya menggeliat hebat. Baunya manis-manis gurih begitu.
Hampir satu jam kami berdiam di situ, sampai akhirnya kami bergegas berangkat. Saya kembali ke sepeda motor saya, duduk di atasnya, menunggu teman Indonesia yang sedang mencari teman Mongol yang tadi minta izin masuk ke terowongan bawah tanah.
Karena tidak ada keindahan lagi di situ yang patut saya nikmati, sambil menunggu saya mengeluarkan notebook, membaca buku digital. Tahulah, Kawan, kalau saya sedang membaca buku, itu artinya separuh saraf saya hampir tidak merespon dunia luar lagi selain buku itu sendiri.
Saat teman saya datang dari terowongan, baru saya sadar bahwa kami sebenarnya sudah ditinggal bertiga di tempat itu. Kami telah terpisah dari rombongan. Tak tahu arah ke mana kami harus menuju, balik lagi ke arah tadi atau melanjutkan ke depan sana?
Saya benar-benar tak menyangka mereka sudah pada pergi semua. Pasalnya juga, sepeda motor listrik itu tak bersuara, suasananya senyap saja, tiba-tiba orang hilang, pergi entah ke mana.
Saya tidak bisa memberi kesimpulan cepat, yang hanya saya ingat adalah sepasang bule laki-bini anggota rombongan, melanjutkan ke depan sana. Akhirnya, teman saya berkesimpulan, lanjutkan !
Seperti halnya di awal keberangkatan tadi, sekarang saya juga hanya mengikut saja. Sekalipun tak yakin apakah kami menuju ke jalan yang benar atau salah.
Mulai saat itu saya sudah tak bisa menikmati perjalanan lagi. Terpisah dari rombongan di sebuah pulau kecil, yang tulisan-tulisan penunjuk jalannya semua berhuruf Mandarin yang tak saya pahami, adalah mimpi buruk bagi saya.
Karenanya, senyum saya saat itu hanya kamuflase belaka. Pengakuan indah akan pemandangan yang kami jumpai juga hanya pencitraan jua. Yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana caranya menghubungi kepala rombongan.
Celakanya, saya tidak punya satu pun alamat media ketua rombongan untuk sekedar bisa menghubunginya. Ada satu, alamat facebook salah satu dari mereka, namun tak dibalasnya.
Dugaan saya, teman saya tak begitu suka kegundahan saya yang berlebihan. Setidaknya dua kali saya tertinggal di belakang karena sibuk melihat peta, ia langsung pergi dengan kata, “bai, bai.” Mungkin ini artinya ia merelakan saya pergi ambil jalan sendiri kalau takut kesasar.
Tapi itu tidak saya lakukan, saya kejar mereka, menyusul. Sehingga sampailah kami pada sebuah tepi pantai yang indah juga dipagari kayu. Sunrise Pavilion nama tempat ini.
Kami berswafoto di situ. Saya juga menjepret beberapa kali sambil menyimpul keresahan di dalam hati. Sejurus kemudian kami pergi dari tempat itu. Saya masih gundah. Salah satu yang saya resahkan sebenarnya adalah daya tahan baterai sepeda motor listrik itu.
Saya sebagai insinyur teknik mesin tentu tahu bahwa sekuat-kuatnya baterai, tidaklah ia sanggup dipaksa bekerja layaknya motor bensin. Apalagi penumpangnya subur makmur berisi, cepat tamatlah riwayatnya.
Dan itu terbukti, saat jalan mulai menanjak selepas Sunrise Pavilion dan singgah sejenak di sebuah pelabuhan untuk melihat orang mancing, indikator baterai sepeda motor teman saya berkedip. Baterainya sekarat. Mulailah dia resah. Sebaliknya, saya yang dari tadi bingung sekarang malah energik mencari solusi. Kami berhenti di sebuah klenteng di puncak bukit, yang kelak baru saya tahu namanya adalah Biyun Temple. Klenteng yang indah.
Hanya satu cara, menghubungi ketua rombongan. Tapi, saya tak punya nomor teleponnya. Saya menghubungi teman di kampus, mungkin dia punya. Ternyata tidak.
Untungnya di antara kami ada yang punya nomor ponsel salah satu kru kantor internasional kampus yang hari itu tidak ikut serta piknik. Mungkin darinya kami bisa mendapat pertolongan. Beruntung, karena dari dialah saya memperoleh nomor ponsel ketua rombongan.
Saya segera menelepon, bilang kami kesasar, dan salah satu motor kami kehabisan baterai. Ketika ditanya di mana posisi kami, saya jawab tidak tahu.
“Kasihkan ponsel ke seseorang yang ada di situ, ” pinta ketua rombongan.
Saya berjalan ke seorang ibu-ibu yang lagi duduk bercakap-cakap di pintu klenteng nan megah itu. Ponsel saya serahkan kepadanya. Dengan bahasa tubuh saya memintanya berbicara. Dari bantuannyalah posisi kami terdeteksi. Biyun Temple. Saya dibilangnya jangan pergi ke mana-mana. Saya mengangguk, bilang terimakasih.
Kepala saya mulai sakit. Saya lupa membawa Paramex. Saya minta izin untuk mencari Panadol di warung terdekat sekaligus membeli air putih pesanan teman yang saya tinggalkan di klenteng.
Obat sakit kepala gagal saya dapatkan. Saya ingin kembali ke klenteng saja dengan hanya membawa dua botol air putih. Namun, belum saja saya gas motornya, teman yang tadinya di klenteng sudah berada di belakang saya dengan senyum sumringah mengalahkan iklan pasta gigi manapun.
“Sudah diganti dengan yang baru baterainya, ” teriaknya berlomba dengan hiruk pikuk suasana pasar.
Saya ikut gembira. “Terus jalan pulang ke mana?” tanya saya yang masih menyisakan cemas.
“Terus saja.” Ia menunjuk ke jalan yang lurus membentang ke depan sana. Petugas baterai telah bilang kepadanya jalan pulang.
Saya mengangguk, setuju dan yakin. Kami pun berangkat. Namun, tak berapa lama menempuh perjalanan itu, saya merasakan dejavu. Saya merasa bahwa tempat ini sudah saya lalui tadi.
Saya menggas motor agar bersetentang dengan motor teman saya, bertanya, “Mbak, kayaknya ini tempat yang tadi ya?”
“Iya.” Ia tertawa, “tapi jalan saja.”
Kami pun pergi saja, menyusuri jalan yang belum kami tahu akan berujung ke mana. Namun, hanya sekejap saja, seperti anugerah, ternyata kami telah sampai ke tempat yang kami idam-idamkan dari tadi, yaitu pelabuhan Baisha. Pelabuhan tempat di mana feri menurunkan kami tadi. Dan nanti, feri itu pula yang akan membawa kami pulang dari pelabuhan ini.
Senangnya lagi, tak berapa lama kemudian saya berjumpa pula dengan ketua rombongan. Tertawa, mereka menanyakan kondisi saya. Saya jawab oke. Mereka sudah mengembalikan sepeda motornya ke tempat persewaan tadi. Sekarang giliran saya.
Setelah mengembalikan motor, saya balik mengekor ketua rombongan. Kepala saya masih nyut-nyutan. Minyak angin yang selalu saya bawa, tak mampan lagi.
Beruntung, salah satu ketua rombongan juga pesakit kepala. Ia membawa obat. Saya diberikannya. Dua pil yang harus diminum sekaligus. Sekejap sakit kepala saya hilang.
Sekarang senyuman saya bukan kamuflase lagi, dan bukan pula pencitraan, tapi sepenuh hati. Senyuman ikhlas itulah yang saya bawa di saat saya bertemu ibu Indonesia yang sedang membuat kue puntir, yang saat itu saya duduk di sampingnya.
“Dari Indo juga, Bu?” saya balik bertanya.
“Iya.”
“Eh, kalau tidak disapa, saya pasti tak tahu ibu juga orang Indo. Apalagi pakai masker seperti itu.” Saya mulai sok akrab, menggodanya.
Ibu ini tersenyum. Tangannya terus saja memilin adonan kue puntir.
“Kok, kenal saya orang Indo, Bu?” Saya bertanya lagi, karena memang ada beberapa orang di Taiwan ini berpikir saya orang India. Saya tak tahu di bagian mananya dari wajah saya yang mirip dengan onderdil orang India.
“Itu, saya baca nama kamu. ‘Usman’.” Ia menunjuk ke arah kartu nama yang terkalung di leher saya.
“O, saya pikir karena apa.” Mata saya menatap liar mencari tempat duduk. Saya ingin mengobrol sekaligus istirahat sebentar. Capek.
Pas sekali, di samping ibu ini ada kursi plastik kosong, warna merah, tak berpenghuni.
“Bu, boleh saya duduk di sini sebentar?” pinta saya sambil memegang kursi itu.
“O, silakan, Mas.” Sembari tangannya lincah memuntir adonan tepung di tangannya, mempersilakan saya duduk.
Saya mengobrol dengan ibu ini dan dengan empunya warung yang sekalipun bukan orang Indonesia, bisalah ia berbicara bahasa Indonesia biarpun patah-patah.
Sambil mengobrol saya minum air putih sereguk demi sereguk. Sebenarnya tadi dari kampus saya membawa air putih satu botol besar. Namun, karena udara panas dan agak kering, cepat saja air itu habis saya minum.
Istimewa pula, segera setelah feri yang mengangkut kami dari pelabuhan Dong Gang di daratan utama pulau Taiwan, ke pelabuhan Baisha di pulau Liuqiu ini, kami langsung diberi sepeda motor listrik yang masing-masing kami harus membayar sewaan sebesar 100 NTD.
Dengan sepeda motor listrik itulah kami dilepas untuk main ke mana pun kami suka dengan bekal satu peta bertulisan Mandarin dan lagi buram, tidak jelas cetakannya. Benar-benar peta tak bermanfaat sedikit pun bagi kami yang tidak mengerti karakter Mandarin.
Peta itu saya lipat dan masukkan saja ke dalam tas. Sebagai gantinya, saya berusaha menempel dan mengekor terus panitia rombongan dari pihak kantor urusan internasional kampus.
Satu motor listrik sejatinya diperuntukkan untuk dua orang, sopir dan penumpangnya. Saya awalnya memilih untuk tidak mau naik sepeda motor ketika ada yang bilang kepada saya bahwa, kalau tidak mau mengendarai sepeda motor agar memisahkan diri dari kelompok yang mau. Pikir saya, sebagai gantinya nanti kami akan diangkut dengan mobil. Padahal bukan itu maksudnya.
Maksud dari tidak mau mengendarai sepeda motor adalah, tidak mau jadi sopirnya. Sehingga kami dipisahkan saja karena tidak perlu diceramahi perihal tatacara pengoperasian sepeda motor listrik itu dan juga tatacara pengecasan baterai seandainya habis kelak.
Namun, dengan ikut mengintip ceramah petugas persewaan, ternyata saya tertarik juga untuk ikut naik sepeda motor listrik. Kapan lagi, pikir saya. Makanya, manakala sampai waktunya pengambilan sepeda motor, saya ikut mengantre !
Saya menatap teman Indonesia yang juga ikut mengantre, berujar, “ternyata saya suka, penasaran pengin pakai sepeda motor listrik juga.”
“Makanya, tadi bilang enggak mau... ” teman saya menimpali, tertawa. “Tapi enggak apa-apa, bilang saja tadi enggak tahu pengumumannya. Kan, pakai bahasa Mandarin?”
Kami sama-sama tertawa di antrean sambil menutup mulut. Tapi kenyataannya memang kami tidak bohong juga. Buktinya, ternyata saya benar-benar tak tahu maksud pengumuman itu, kan?
Setelah mendengar syarahan teman saya itu, saya mengangguk-angguk sambil melangkah mengikuti jalannya antrean. Maka sampailah saat jatah saya mengambil motor tiba. Saya menyeretnya keluar lokasi parkir, menuju pinggir jalan sebelah kanan di mana posisi rombongan siap berangkat.
Saya tidak tahu cara menghidupkannya. Saya diajari teman Indonesia dari jarak jauh, ia tidak turun dari motornya. Saya masih bingung ketika petugas persewaan kebetulan melintas di samping saya. Saya minta tolong kepadanya. Setelah diajari, o, ternyata sama seperti sebagian motor matic, harus tekan rem dulu baru bisa start. Paham sudah saya sekarang.
Saya melihat kiri-kanan, baru saya menginsafi bahwa semua teman ternyata berpasangan mengendarai sepeda motornya. Kebanyakan kami adalah anak Vietnam, hanya satu orang Mongol, dua orang bule, dan dua orang Indonesia. Anak Vietnam semua berpasangan, rata-rata laki-perempuan. Teman saya Indonesia berpasangan dengan anak Mongol, perempuan-perempuan. Sementara saya, sendiri ! Malu juga saya ternyata, merasa terkucilkan di pulau kecil ini.
“Hei, tak ada satu pun yang mau sama saya !?” saya berteriak. Alih-alih ada yang datang, saya malah ditertawai khalayak. Biar saja, saya tak peduli !
Anak Mongol perempuan itu malah menggoda, “Maukah kamu belikan saya es krim? Saya mau menemani kamu.”
Kami pun tertawa. Akhirnya memang saya bersepeda motor sendiri. Karena jumlah kami memang ganjil, pasti ada satu yang akan tidak punya pasangan.
Sejurus kemudian kami berangkat. Di gas pertama, betapa banyak dari kami yang terhempas ke belakang karena tidak terbiasa bersepeda motor listrik. Untungnya saya tidak. Ternyata saya lebih lembut daripada yang orang duga. Pedal gas sepeda motor itu sukses saya putar dengan lembutnya.
Kenapa dengan kelembutan? Karena motor listrik itu tak bersuara. Di colek sedikit saja, tak ada kum tak ada salam main kabur saja itu motor. Makanya bukan hanya saat gas pertama di awal berangkat, sampai piknik hampir usai pun masih saja ada beberapa kali yang masih terhempas. Salah satunya adalah awak kantor internasional.
Titik pertama yang kami singgahi adalah sebuah pantai berkarang yang sungguh cantik hanya untuk dilihat saja. Untuk mandi, sulit sekali nampaknya. Karang-karang itu benar-benar menyiksa kaki. Namun, beberapa pengunjung terlihat juga melakukan snorkeling.
Tak jauh dari bibir pantai ini adalah sebuah bangunan tua yang dibuat dengan mengorek tebing. Saya duga itu rumah biasa yang tak bernilai sejarah. Terlihat dari kondisinya yang tidak terawat. Karena di Taiwan ini, tak ada satu pun tempat yang bernilai sejarah yang ditelantarkan. Namun, teman Taiwan bilang itu adalah benteng peninggalan perang. Saya mengangguk saja sekalipun tidak percaya. Tak mungkin.
Saya tak tahu nama pantai ini, sebagai mana juga anak Taiwan asli yang saya tanya juga tak tahu dan tak peduli dengan namanya. Yang penting dinikmati saja, begitu kira-kira anggapan kami semua hari itu.
Hari semakin cerah, membuat birunya langit sampai di batas cakrawala. Hanya ada beberapa onggok awan kesepian tak bergerak di ujung langit sana. Laut biru membentang hampir tak beriak, sekalipun angin tetap semilir mengelus kulit kami yang panas tersengat matahari.
Tak lama juga kami di pantai ini, kemudian kami berangkat ke lokasi lain. Saya tetap mengekor orang yang saya anggap ketua rombongan. Di tengah jalan tenggorokan kami kering, kami harus minum sesuatu. Kami sepakat minum es krim yang diusulkan teman Taiwan. Setelah memesan, sampai, ternyata bukan es krim, tapi es teler alias es serut.
Tak tahu mengapa orang Taiwan selalu menyebut ini sebagai es krim. Padahal es krim itu beda, dan mereka tahu itu. Sudah dua kali di Taiwan ini saya kecolongan dengan yang namanya es krim, nyatanya es teler.
Saya sebagai pencinta es krim tentu kecelek alias kecewa setelah mengimpikan makan es krim, nyatanya dapat es teler. Dan hari itu terjadi lagi ! Di sebuah pulau kecil di selatan kota Kaohsiung. Liuqiu nama pulau itu.
Lupakan “es krim” itu. Saya malas membahasnya. Karena setelah itu kami beranjak pergi dari situ dan berhenti di sebuah tempat yang bernama “Black Devil Cave”. Mengerikan, bukan? Goa Setan Hitam ! Itu arti nama tempat tersebut. Kami sepakat secara aklamasi tak masuk ke situ. Bukan karena kengerian namanya, tapi karena harus bayar.
Sebagai gantinya kami hanya berswafoto dengan latar pamflet tempat yang bombastis itu sambil ditonton petugas loket. Setelah itu kami kabur menghilang dari pandangan mereka, menuju ke tempat lain.
Yaitu ke sebuah pantai, yang kali ini indah dan ramah manusia, beda dengan pantai tadi. Artinya, pantai ini bisa dipakai untuk mandi. Pasir putih sekalipun tidak sehalus pasir pantai di Indonesia, namun masih tetap nyaman dan aman untuk diinjak dan diduduki.
Banyak pengunjung yang mandi dengan derai tawa membahana, gembira tingkat tinggi. Beberapa dari mereka juga ada yang berbikini atau celana pendek tapi atasan hanya berkutang saja. Saya pakai kacamata hitam. Tak ada satu pun yang tahu ke mana sorot mata saya menuju.
Adalah anak Mongol yang berkulit putih bersih, berbadan subur, dan bermata sedikit sipit itu yang begitu bergelora kegembiraannya. Betapa tidak, coba lihat peta dunia, dan tiliklah negara Mongolia. Yaitu sebuah negara yang tidak memiliki laut. Itu artinya, bagi orang Mongolia yang tidak pernah keluar negeri, tidak akan pernah bisa menyaksikan laut seumur hidupnya.
Sekalipun indah mempesona, baik pantainya ataupun pengunjungnya, ternyata tak lama pula kami di situ. Kami segera angkat sauh menuju tempat selanjutnya. Yaitu ke sebuah pelabuhan. Kami berhenti di situ. Hanya untuk melihat saja. Ini sebenarnya adalah pelabuhan pendaratan ikan, namun dibuat bersih tertata indah dan lumayan memanjakan mata.
Dasar lautnya juga terlihat berkarang. Ada segerombolan peserta snorkeling yang kelihatannya sedang dilatih oleh beberapa instruktur. Kami melihat saja dari atas, jepret sana jepret sini, kemudian mengobrol dengan seorang pelaut Taiwan yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia, sekalipun patah-patah.
Salah satu nama tempat yang muncul dari mulutnya adalah Bali, Bali, dan Bali. Bali benar-benar surga dunia bagi banyak penghuni pertiwi. Tak satu pun yang bilang Blangjruen, kota kelahiran saya. Padahal Blangjruen itu kan tempatnya orang-orang hebat dan ganteng? Halah !
Di sekitar pelabuhan ini ada sebuah bangunan serupa menara yang tersampir di salah satu sisi cerocok pelabuhan. Memang, pelabuhan di pulau ini semua dipagari dengan cerocok yang cukup tinggi. Hanya sebelah samping kiri yang ada bukaan sebagai pintu masuk kapal ke pelabuhan. Oleh karena itu, rasa-rasanya, gelombang laut musim taifun sekalipun tak akan mampu melewati cerocok itu. Sehingga kapal-kapal yang melabuh akan aman dari benturan.
Kami naik ke menara. Laut terlihat biru luas membentang, ditangkup mangkuk langit yang biru muda bersih hampir tak berawan. Daratan dimulai dengan bibir pantai berkarang putih. Tanah bukit curam menyusul setelahnya dengan hijau tetumbuhan.
Pelabuhan ini sepi. Kami tiba di tengah hari. Mungkin bukan waktunya pendaratan ikan. Cuaca semakin panas, tapi semilir angin menjinakkannya. Tangan saya mulai hitam, hangus terbakar matahari di perjalanan.
Kumandang azan Zuhur menggema di ponsel. Saya mulai lihat kiri-kanan, mencari tempat yang bisa saya pakai untuk bersujud. Saya dapatkan, di bawah menara ada sebuah bangunan beratap tanpa dinding, berlantai semen agak bersih. Tempat berwudu, belum ada. Tak ada keran air terlihat di pelabuhan ini.
Saya ambil sepeda motor, menyusur tepi pelabuhan. Ada WC lima muka dekat pintu masuk pelabuhan. Saya tanya kepada yang sedang mandi di situ. Dia bilang, kira-kira maksudnya adalah, ini bukan WC umum. Loh, WC pribadi kok banyak pintunya? Pikir saya.
Saya masih bingung ketika tiba-tiba di belakang saya datang ketua rombongan. Saya mengeluh kepadanya, mau berwudu. Atas penjelasannya kepada yang punya WC itu, kemudian saya diizinkan masuk ke WC tersebut.
Anjing besar segede kambing bunting terikat di dekat pintu WC. Kelihatannya anjing ini jatuh cinta pada saya. Tak bosan-bosannya ia menyalak ke arah saya sampai akhirnya ditabahkan hatinya oleh majikanya. Ia diam. Saya masuk ke WC.
Ada keran dan penyemprot air di dalamnya. Saya berwudu, selesai, dan keluar dari WC. Anjing itu menyalak lagi. Majikannya datang, menenangkannya. Ia diam. Saya cepat-cepat pergi dari tempat itu sambil bilang terimakasih.
Sampai di menara lagi, ketika saya mau salat, kepala rombongan bilang agar kami segera pergi ke suatu tempat, karena makan siang tidak dibawa ke sini, melainkan ke tempat lain, dan kami harus ke sana.
Saya menunda salat, ikut pergi. Maka sekarang sampailah di suatu tempat, juga pantai. Tempat ini hanya pantai biasa yang dipagari kayu yang kuat dan rapi. Ada terowongan ke bawah tanah yang entah ke mana ujungnya dan apa pula isinya, saya tidak tahu karena tidak berniat masuk.
Sebuah bangunan beratap tak berdinding disediakan di dalam taman pinggir pantai itu. Di situlah saya salat dan dilanjutkan dengan makan siang. Nasi kotak. Saya pilih nasi yang hanya berlauk sayur dan ikan saja, sesuai dengan jenis makanan yang saya pilih saat mendaftar dulu.
Di bawah bangunan tempat kami makan itu adalah juga seorang ibu tua yang menjual kue puntir dan sirup dingin. Sirup dingin ini sungguh menggoda. Saya beli, 30 NTD harganya. Tak mengapa. Dari warnanya yang merah gelap pasti enak rasanya. Namun, begitu saya minum seteguk, saya langsung menoleh ke arah teman Indonesia, bilang, “Beruntung kamu, Mbak.”
Tawanya pecah, bertanya, “Tidak enak, ya?”
Saya hanya mengangguk dan menyimpan air itu ke dalam tas. Sampai di kampus air itu tak pernah saya habiskan. Rasanya hanya asam dan agak ada rasa semriwing aneh begitu. Entah ramuan apa yang dimasukkannya.
Tapi di tempat itu saya juga membeli kue puntir. Yang ini saya yakin enak dari awal. Dari wanginya saja saat melewati kedai-kedai pembuat kue ini di pelabuhan Baisha tadi, membuat kerongkongan saya menggeliat hebat. Baunya manis-manis gurih begitu.
Hampir satu jam kami berdiam di situ, sampai akhirnya kami bergegas berangkat. Saya kembali ke sepeda motor saya, duduk di atasnya, menunggu teman Indonesia yang sedang mencari teman Mongol yang tadi minta izin masuk ke terowongan bawah tanah.
Karena tidak ada keindahan lagi di situ yang patut saya nikmati, sambil menunggu saya mengeluarkan notebook, membaca buku digital. Tahulah, Kawan, kalau saya sedang membaca buku, itu artinya separuh saraf saya hampir tidak merespon dunia luar lagi selain buku itu sendiri.
Saat teman saya datang dari terowongan, baru saya sadar bahwa kami sebenarnya sudah ditinggal bertiga di tempat itu. Kami telah terpisah dari rombongan. Tak tahu arah ke mana kami harus menuju, balik lagi ke arah tadi atau melanjutkan ke depan sana?
Saya benar-benar tak menyangka mereka sudah pada pergi semua. Pasalnya juga, sepeda motor listrik itu tak bersuara, suasananya senyap saja, tiba-tiba orang hilang, pergi entah ke mana.
Saya tidak bisa memberi kesimpulan cepat, yang hanya saya ingat adalah sepasang bule laki-bini anggota rombongan, melanjutkan ke depan sana. Akhirnya, teman saya berkesimpulan, lanjutkan !
Seperti halnya di awal keberangkatan tadi, sekarang saya juga hanya mengikut saja. Sekalipun tak yakin apakah kami menuju ke jalan yang benar atau salah.
Mulai saat itu saya sudah tak bisa menikmati perjalanan lagi. Terpisah dari rombongan di sebuah pulau kecil, yang tulisan-tulisan penunjuk jalannya semua berhuruf Mandarin yang tak saya pahami, adalah mimpi buruk bagi saya.
Karenanya, senyum saya saat itu hanya kamuflase belaka. Pengakuan indah akan pemandangan yang kami jumpai juga hanya pencitraan jua. Yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana caranya menghubungi kepala rombongan.
Celakanya, saya tidak punya satu pun alamat media ketua rombongan untuk sekedar bisa menghubunginya. Ada satu, alamat facebook salah satu dari mereka, namun tak dibalasnya.
Dugaan saya, teman saya tak begitu suka kegundahan saya yang berlebihan. Setidaknya dua kali saya tertinggal di belakang karena sibuk melihat peta, ia langsung pergi dengan kata, “bai, bai.” Mungkin ini artinya ia merelakan saya pergi ambil jalan sendiri kalau takut kesasar.
Tapi itu tidak saya lakukan, saya kejar mereka, menyusul. Sehingga sampailah kami pada sebuah tepi pantai yang indah juga dipagari kayu. Sunrise Pavilion nama tempat ini.
Kami berswafoto di situ. Saya juga menjepret beberapa kali sambil menyimpul keresahan di dalam hati. Sejurus kemudian kami pergi dari tempat itu. Saya masih gundah. Salah satu yang saya resahkan sebenarnya adalah daya tahan baterai sepeda motor listrik itu.
Saya sebagai insinyur teknik mesin tentu tahu bahwa sekuat-kuatnya baterai, tidaklah ia sanggup dipaksa bekerja layaknya motor bensin. Apalagi penumpangnya subur makmur berisi, cepat tamatlah riwayatnya.
Dan itu terbukti, saat jalan mulai menanjak selepas Sunrise Pavilion dan singgah sejenak di sebuah pelabuhan untuk melihat orang mancing, indikator baterai sepeda motor teman saya berkedip. Baterainya sekarat. Mulailah dia resah. Sebaliknya, saya yang dari tadi bingung sekarang malah energik mencari solusi. Kami berhenti di sebuah klenteng di puncak bukit, yang kelak baru saya tahu namanya adalah Biyun Temple. Klenteng yang indah.
Hanya satu cara, menghubungi ketua rombongan. Tapi, saya tak punya nomor teleponnya. Saya menghubungi teman di kampus, mungkin dia punya. Ternyata tidak.
Untungnya di antara kami ada yang punya nomor ponsel salah satu kru kantor internasional kampus yang hari itu tidak ikut serta piknik. Mungkin darinya kami bisa mendapat pertolongan. Beruntung, karena dari dialah saya memperoleh nomor ponsel ketua rombongan.
Saya segera menelepon, bilang kami kesasar, dan salah satu motor kami kehabisan baterai. Ketika ditanya di mana posisi kami, saya jawab tidak tahu.
“Kasihkan ponsel ke seseorang yang ada di situ, ” pinta ketua rombongan.
Saya berjalan ke seorang ibu-ibu yang lagi duduk bercakap-cakap di pintu klenteng nan megah itu. Ponsel saya serahkan kepadanya. Dengan bahasa tubuh saya memintanya berbicara. Dari bantuannyalah posisi kami terdeteksi. Biyun Temple. Saya dibilangnya jangan pergi ke mana-mana. Saya mengangguk, bilang terimakasih.
Kepala saya mulai sakit. Saya lupa membawa Paramex. Saya minta izin untuk mencari Panadol di warung terdekat sekaligus membeli air putih pesanan teman yang saya tinggalkan di klenteng.
Obat sakit kepala gagal saya dapatkan. Saya ingin kembali ke klenteng saja dengan hanya membawa dua botol air putih. Namun, belum saja saya gas motornya, teman yang tadinya di klenteng sudah berada di belakang saya dengan senyum sumringah mengalahkan iklan pasta gigi manapun.
“Sudah diganti dengan yang baru baterainya, ” teriaknya berlomba dengan hiruk pikuk suasana pasar.
Saya ikut gembira. “Terus jalan pulang ke mana?” tanya saya yang masih menyisakan cemas.
“Terus saja.” Ia menunjuk ke jalan yang lurus membentang ke depan sana. Petugas baterai telah bilang kepadanya jalan pulang.
Saya mengangguk, setuju dan yakin. Kami pun berangkat. Namun, tak berapa lama menempuh perjalanan itu, saya merasakan dejavu. Saya merasa bahwa tempat ini sudah saya lalui tadi.
Saya menggas motor agar bersetentang dengan motor teman saya, bertanya, “Mbak, kayaknya ini tempat yang tadi ya?”
“Iya.” Ia tertawa, “tapi jalan saja.”
Kami pun pergi saja, menyusuri jalan yang belum kami tahu akan berujung ke mana. Namun, hanya sekejap saja, seperti anugerah, ternyata kami telah sampai ke tempat yang kami idam-idamkan dari tadi, yaitu pelabuhan Baisha. Pelabuhan tempat di mana feri menurunkan kami tadi. Dan nanti, feri itu pula yang akan membawa kami pulang dari pelabuhan ini.
Senangnya lagi, tak berapa lama kemudian saya berjumpa pula dengan ketua rombongan. Tertawa, mereka menanyakan kondisi saya. Saya jawab oke. Mereka sudah mengembalikan sepeda motornya ke tempat persewaan tadi. Sekarang giliran saya.
Setelah mengembalikan motor, saya balik mengekor ketua rombongan. Kepala saya masih nyut-nyutan. Minyak angin yang selalu saya bawa, tak mampan lagi.
Beruntung, salah satu ketua rombongan juga pesakit kepala. Ia membawa obat. Saya diberikannya. Dua pil yang harus diminum sekaligus. Sekejap sakit kepala saya hilang.
Sekarang senyuman saya bukan kamuflase lagi, dan bukan pula pencitraan, tapi sepenuh hati. Senyuman ikhlas itulah yang saya bawa di saat saya bertemu ibu Indonesia yang sedang membuat kue puntir, yang saat itu saya duduk di sampingnya.
“Sudah lama di sini, Bu?” tanya saya pada ibu bermasker itu, melanjutkan percakapan.
“Sudah, Mas. Saya sudah kawin dengan orang sini,” jawabnya dibalik masker sambil mengisyaratkan wajahnya ke arah pemilik warung yang bertubuh subur. Maksudnya, itu adalah suaminya.
Suaminya itu ikut nimbrung, menyapa saya dengan bahasa Indonesia patah-patah, “Indonesia?”
Saya mengangguk, menebar senyum terbaik saya hari itu.
“Saya pernah di Bali. ” Ia mengacungkan jempol, tanda bagus.
Saya, dalam perut, “Bali lagi, Bali lagi. Sekali-sekali Blangjruen kenapa sih !”
Sekalipun demikian, saya tetap balas mengacungkan jempol, bilang, “Bali indah.”
Padahal saya belum pernah kesana. Tapi paling tidak, saya bangga juga, daya tarik Bali telah membuat Indonesia terkenal dengan keindahannya sampai ke pelosok dunia sekalipun. Itu adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga.
Sekejap kemudian, saya pamit untuk turun ke penantian feri di pelabuhan. Waktunya sekarang untuk berkumpul pulang.
Di sana belum ada yang berkumpul, hanya saya sendiri. Duduk di antara orang-orang yang tidak saya kenal. Seorang ibu setengah baya duduk di samping saya. Di tangannya adalah wadah cumi-cumi salai, barang dagangannya.
Ia memang tidak menawarkannya kepada saya. Tapi ia suka mengobrol. Saya tidak mengerti. Ia mengeluarkan ponsel, membuka Google Translate, mengetik apa yang mau ia ucapkan, kemudian menunjukkan kepada saya terjemahan bahasa Indonesianya.
Lama juga kami mengobrol. Panjang lebar. Sampai ke keluhannya, bilang bahwa saya hebat dan beruntung karena saya bisa sekolah sampai ke Taiwan. Anaknya, kata dia melanjutkan, tidak bisa sekolah, sekarang jadi pekerja di Kaohsiung. Dia tidak punya uang untuk menyekolahkan anaknya.
Saya kasihan mendengarnya. Tapi hanya satu yang dapat saya lakukan untuk membantunya, adalah membeli dagangannya, cumi-cumi salai, yang sampai sekarang tidak habis saya makan. Terlalu manis dan tidak ada rasa cumi-cuminya sedikit pun jua.
Tak berapa lama kemudian, rombongan kami sudah berkumpul di pintu pemberangkatan. Antrean panjang. Juga banyak orang Indonesia dalam antrean itu. Sungguh bangsa yang besar, di sudut dunia yang bernama pulau Liuqiu, orang Indonesia masih ada. Padahal pulau ini hampir tak terlihat di peta dunia. Saking kecilnya.
Pukul lima sore feri menarik sauhnya. Sudu berputar. Air di buritan menggelinjang-gelinjang, berbuih-berbuih, dan terbelah tersibak ke samping.
Feri menuju pintu pelabuhan, keluar dari kepungan cerocok beton yang tinggi. Demi feri sampai di luar, terlihatlah hamparan laut biru seolah tak berkesudahan ke depan sana.
Kecepatan feri ditambah menaik secara teratur sampai pada kecepatan maksimumnya. Jarak antara daratan utama Taiwan dari pelabuhan Dong Gang sampai pelabuhan Baisha di pulau Liuqiu sekira 13 kilometer. Jarak itu dapatlah ditempuh dengan 20 menit. Maka pikirkan betapa cepat feri itu melaju, membawa kami pulang-pergi dari dan ke sebuah pulau kecil nan indah di selatan Taiwan ini.
__________
Hasyiah:
“Tak ada kum tak ada salam” adalah ungkapan orang Aceh untuk orang yang pergi tanpa pamit atau tanpa salam. “Kum” dan “salam” dipenggal dari kalimat “Assalamu’alaikum”.
“Sudah, Mas. Saya sudah kawin dengan orang sini,” jawabnya dibalik masker sambil mengisyaratkan wajahnya ke arah pemilik warung yang bertubuh subur. Maksudnya, itu adalah suaminya.
Suaminya itu ikut nimbrung, menyapa saya dengan bahasa Indonesia patah-patah, “Indonesia?”
Saya mengangguk, menebar senyum terbaik saya hari itu.
“Saya pernah di Bali. ” Ia mengacungkan jempol, tanda bagus.
Saya, dalam perut, “Bali lagi, Bali lagi. Sekali-sekali Blangjruen kenapa sih !”
Sekalipun demikian, saya tetap balas mengacungkan jempol, bilang, “Bali indah.”
Padahal saya belum pernah kesana. Tapi paling tidak, saya bangga juga, daya tarik Bali telah membuat Indonesia terkenal dengan keindahannya sampai ke pelosok dunia sekalipun. Itu adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga.
Sekejap kemudian, saya pamit untuk turun ke penantian feri di pelabuhan. Waktunya sekarang untuk berkumpul pulang.
Di sana belum ada yang berkumpul, hanya saya sendiri. Duduk di antara orang-orang yang tidak saya kenal. Seorang ibu setengah baya duduk di samping saya. Di tangannya adalah wadah cumi-cumi salai, barang dagangannya.
Ia memang tidak menawarkannya kepada saya. Tapi ia suka mengobrol. Saya tidak mengerti. Ia mengeluarkan ponsel, membuka Google Translate, mengetik apa yang mau ia ucapkan, kemudian menunjukkan kepada saya terjemahan bahasa Indonesianya.
Lama juga kami mengobrol. Panjang lebar. Sampai ke keluhannya, bilang bahwa saya hebat dan beruntung karena saya bisa sekolah sampai ke Taiwan. Anaknya, kata dia melanjutkan, tidak bisa sekolah, sekarang jadi pekerja di Kaohsiung. Dia tidak punya uang untuk menyekolahkan anaknya.
Saya kasihan mendengarnya. Tapi hanya satu yang dapat saya lakukan untuk membantunya, adalah membeli dagangannya, cumi-cumi salai, yang sampai sekarang tidak habis saya makan. Terlalu manis dan tidak ada rasa cumi-cuminya sedikit pun jua.
Tak berapa lama kemudian, rombongan kami sudah berkumpul di pintu pemberangkatan. Antrean panjang. Juga banyak orang Indonesia dalam antrean itu. Sungguh bangsa yang besar, di sudut dunia yang bernama pulau Liuqiu, orang Indonesia masih ada. Padahal pulau ini hampir tak terlihat di peta dunia. Saking kecilnya.
Pukul lima sore feri menarik sauhnya. Sudu berputar. Air di buritan menggelinjang-gelinjang, berbuih-berbuih, dan terbelah tersibak ke samping.
Feri menuju pintu pelabuhan, keluar dari kepungan cerocok beton yang tinggi. Demi feri sampai di luar, terlihatlah hamparan laut biru seolah tak berkesudahan ke depan sana.
Kecepatan feri ditambah menaik secara teratur sampai pada kecepatan maksimumnya. Jarak antara daratan utama Taiwan dari pelabuhan Dong Gang sampai pelabuhan Baisha di pulau Liuqiu sekira 13 kilometer. Jarak itu dapatlah ditempuh dengan 20 menit. Maka pikirkan betapa cepat feri itu melaju, membawa kami pulang-pergi dari dan ke sebuah pulau kecil nan indah di selatan Taiwan ini.
__________
Hasyiah:
“Tak ada kum tak ada salam” adalah ungkapan orang Aceh untuk orang yang pergi tanpa pamit atau tanpa salam. “Kum” dan “salam” dipenggal dari kalimat “Assalamu’alaikum”.
![]() |
Feri memasuki pelabuhan Dong Gang |
![]() |
Penumpang siap naik |
![]() |
Di dalam kabin penumpang |
![]() |
Hampir sampai ke pulau Liuqiu |
![]() |
Pelabuhan Baisha |
![]() |
Jamaah pembuat kue puntir |
![]() |
Kami dengan sepeda motor listrik |
![]() |
Pantai pertama yang kami kunjungi |
![]() |
Es krim atau es teler |
![]() |
Gua Setan Hitam. Yang pakai kacamata hitam itu saya. Bukan setan hitamnya |
![]() |
Pantai pasir putih. Lihat betapa senangnya teman kita dari Mongolia itu |
![]() |
Pantai pasir putih dari atas |
![]() |
Pelabuhan dengan para pe-snorkeling |
![]() |
Menara pelabuhan |
![]() |
Peta pulau Liuqiu |
![]() |
Yang mau sirup dingin, silakan mendekat |
![]() |
Sunrise Pavilion |
![]() |
Tempat mancing di sebuah pelabuhan. Tak ada pelindung. Saya tak berani ke pinggir. Takut jatuh |
![]() |
Ibu penjual cumi-cumi salai di pelabuhan Baisha |
No comments:
Post a Comment