Sunday, July 7, 2019

Pasar Aceh di Negeri Jiran dan Semangkuk Cendol Durian

Sebenarnya, malam kemarin saya telah pergi ke pasar ini. Tapi sudah agak telat. Hampir pukul sepuluh malam. Kami pikir kedai-kedai masih beroperasi normal. Ternyata tidak. Toko-toko banyak yang sudah tutup. Sisanya yang sedikit masih terbuka. Tapi sepi pengunjung.

Waktu naik Grab dari Menara Kembar Petronas, sopir telah bilang, kalau malam-malam begini pasar itu tak ramai lagi. Ramainya siang. Malah, kata dia lagi, pasar itu berbahaya di waktu malam. Banyak aksi kriminalnya.

Kami tak peduli. Tetap mau pergi ke situ. Buat apa takut. Kan, katanya di situ banyak orang Aceh? Jika ada yang mengganggu kami, tinggal teriak saja pakai bahasa Aceh. Selesai. Bantuan pasti datang.

Tapi percayalah, Kawan. Suasananya tidak seangker gambaran si sopir Grab itu tadi. Soal sudah agak sepi, itu seratus persen benar. Namun, soal kriminalitas, kayaknya tidak, ya.

Dari amatan saya, pasar itu masih layak juga dikunjungi di waktu malam. Meskipun kalau mau melihat wajah asli pasar itu, maka baiknya jangan pergi malam. Luangkan waktu di siang hari.

Pasar Chow Kit. Itulah nama pasar itu. Pasar yang cukup terkenal bagi orang Indonesia. Lebih-lebih bagi orang Aceh. Letaknya tak begitu jauh dari Menara Kembar Petronas yang terkenal itu. Menara yang menjadi simbol kemajuan peradaban Malaysia.

Malam kemarin, kami hanya memutari wilayah sudut pasar yang masih agak ramai. Suara tuturan bahasa Aceh berdesing-desing meningkahi langkah kami menyusuri pasar tradisional itu.

Mendengar ada penutur bahasa Aceh, kami refleks menoleh. Tapi tidak menyapa. Hanya tersenyum saja. Sambil berfikir, ternyata benar kata orang-orang. Bahwa pasar Chow Kit ini banyak dibanjiri oleh pedagang-pedagang Aceh.

Kami terus berjalan. Sampai terlihat di depan sana, lorong sudah benar-benar sepi. Kami berhenti di sebuah pertigaan. Kami melihat. Ada bakul cendol sedang dikerubuti pelanggan setianya, yang rela mengantre hampir sepanjang separuh jarak tiang listrik.

Saya melihat lebih dekat. Penasaran. Gerangan apa yang membuat cendol itu begitu diminati. Ternyata cendol durian. Saya berpikir, ini harus dicoba. Dan itu diamini oleh teman saya. Dia yang mengantre, saya yang langsung mencari meja tempat duduk. Supaya tak didahului pelanggan lain. Kerjasama yang paripurna. Demi semangkuk cendol durian.


Perjuangan kami usai. Berbuah hasil dengan dua mangkuk cendol dengan durian menggunung di atasnya. Saya mengintip ke bawah onggokan biji durian. Isinya: cendol, santan, es, dan pemanis dari gula jawa. Cuma itu.

Saya cicip sesendok. Rasa cendol seperti biasa. Kemudian saya cicip duriannya. Ya, rasa durian seperti biasa juga. Kemudian saya aduk. Saya cicip lagi. Rasa cendol campur durian. Biasa juga.

Saya bertanya dalam hati. Kenapa orang rela mengantre, ya? Untuk hal yang biasa seperti ini? Tapi, saya akhirnya harus sadar. Tuhan menciptakan selera makhluk-Nya berbeda-beda. Agar hidup ini tidak membosankan.

Perjalanan kami di Pasar Chow Kit malam kemarin, kami sudahi dengan membeli sandal jepit masing-masing kami, sepasang. Harga sandal jepit itu dua Ringgit lebih mahal dari harga cendol durian itu. Sandal jepit, 15 Ringgit tak boleh kurang, kata penjual berperawakan India itu. Kami beli. Habis itu, pulang.

Hari ini, siangnya, kami berkunjung lagi ke pasar Chow Kit ini. Ingin melihat wajahnya sebagaimana cerita orang-orang. Bahwa ini adalah pasar Aceh di Negeri Jiran.
Cendol Durian di Chow Kit Malaysia

No comments:

Post a Comment