Tuesday, October 9, 2018

Di Amerika, Makanan Pokok?

Mungkin, istilah makanan pokok itu tidak berlaku untuk orang Amerika. Atau, jangan-jangan, kata "staple food", yang merupakan bahasa Inggris dari makanan pokok, tidak semua orang tahu maksudnya di negeri Paman Sam ini.

Ini mungkin, lo, ya? Soalnya saya belum pernah mencoba memakai kata ini ketika bercakap-cakap dengan orang Amerika. Mengingat ternyata ada juga kosakata bahasa Inggris yang sering kita pakai, ternyata orang Amerika tak pernah menggunakannya.

Saya bilang demikian, pasalnya, selama dua minggu di Amerika, makanan yang dihidangkan kepada kami di tempat pelatihan ternyata beda-beda. Satu hari roti bantal, lauk ayam. Besok giliran adonan kentang plus beberapa macam lauknya.

Ada juga, seperti hari ini, bubur pasta terbuat dari entah kacang apa. Warnanya agak merah pudar. Saya cicip rasanya macam bubur kacang hijau tanpa gula. Untung saja hari ini ada disediakan nasi goreng, yang kebetulan, rasanya tidak asam dan sangit seperti biasanya. Kalau tidak, alamat tak makan juga saya siang ini.

Pernah satu hari, sebagai makan siang kami dikasih hamburger, dari daging sapi, halal. Nah, kan? Sejak kapan orang Indonesia, lebih-lebih orang Aceh, bisa menganggap makan hamburger itu sebagai makan siang? Sampai lebaran kuda sekalipun, bagi kita hamburger itu adalah hanya sebagai kudapan, alias "seneik", makanan ringan.

Tapi, mau bagaimana lagi. Hamburger di Amerika adalah makanan berat. Bagi mereka itu sudah cukup untuk membuat otot-otot kami tetap bergerak di sini. Walaupun, makanan ini di Indonesia pamornya melorot menjadi makanan ringan. Satu lagi, kentang goreng, di sini tergolong makanan yang masuk ke menu makanan berat.

Sementara saya, sebagai orang Aceh, tidak merasa sudah makan kalau belum makan nasi. Makan mi, misalnya, makhluk Tuhan mana yang berani bilang itu tidak bikin kenyang? Tepung semua isinya. Tapi, setelah makan mi, biasanya saya tetap mencari nasi.

Di kala dulu kuliah sarjana di Jogjakarta, saya pernah diketawain teman-teman di sana. Soalnya, setelah makan mi bareng, saya masih bilang belum makan. Malah lebih parah lagi, saat itu saya sempat menganggap nasi goreng sebagai "seneik".

Makanya sekarang di Amerika, ketika dikasih hamburger untuk makan siang, langsung panik saya. Masakan saya tiap hari makan seneik? Ga bener ini. Akhirnya, saya mencari cara, memasak nasi di kamar hotel. Pakai microwave, yang kebetulan disediakan di setiap kamar hotel bertuah ini.

Jadi nasinya. Mulai tadi pagi. Sudah bisa makan nasi. Beras saya beli di Hongkong Market. Mal punyanya orang Asia. Walau hanya berlauk telur dadar yang saya pesan di kantin hotel, lumayan cukup untuk mendiamkan perut saya yang selama dua minggu ini balapan terus. Kembung.
Hamburger bersanding dengan mi instan yang saya rebus pakai microwave

No comments:

Post a Comment